Kalawaca.com – Di tengah gema takbir yang masih bergaung, Timur Tengah terbelah oleh bara konflik yang tak kunjung padam. Idul Fitri, yang seharusnya menjadi simbol perdamaian, kali ini tidak mampu meredakan panasnya perseteruan. Belum sepekan lebaran berlangsung, Iran melontarkan serangan balasan ke arah Israel, memicu kembali luka lama yang belum sempat mengering.
Dinamika hubungan Iran-Israel adalah cerminan dari pertarungan geopolitik yang kompleks dan berlapis. Rivalitas yang kini terpatri dalam narasi kedua negara ini bukan hanya sekadar persaingan, melainkan juga pertunjukan kekuatan di panggung dunia. Sejarah yang terjalin panjang dan kepentingan strategis yang saling bertautan, seringkali menjadi pemicu dan penguat dari ketegangan yang ada. Hubungan internasional, seperti yang terlihat dalam kasus Iran dan Israel, sering kali bersifat dinamis, dipengaruhi oleh konteks historis serta dan kepentingan.
Dinamika Hubungan Iran-Israel
Dalam liputan eksklusif Al Jazeera, Eirik Kvindesland, sejarawan terkemuka dari University of Oxford, mengungkapkan sebuah fakta yang terlupakan: Iran, negara mayoritas Muslim kedua setelah Turki, pernah mengakui kedaulatan Israel secara de facto sejak tahun 1948. Hubungan antara dua negara ini, yang kini tampak retak, pernah berada dalam masa-masa harmonis yang terjalin erat.
Era 1950 hingga 1970-an tercatat sebagai periode emas dalam kronik diplomatik antara Israel dan Iran. Berkat doktrin David Ben-Gurion, Perdana Menteri pertama Israel, kedua negara ini menemukan titik temu dalam labirin geopolitik yang rumit. Doktrin tersebut menggarisbawahi pentingnya mencari sekutu di luar lingkaran negara-negara Arab yang bersikap bermusuhan.
Analisis Marta Furlan, dalam Israeli-Iranian Relations: Past Friendship, Current Hostility (2022) menyebutkan, sebetulnya kedua negara ini punya kesamaan kepentingan geopolitik. Keduanya berbagi tujuan untuk mengekang ambisi negara-negara Arab, membatasi pengaruh Uni Soviet, dan mendekatkan diri pada Amerika Serikat—sebuah aliansi yang dibentuk bukan hanya atas dasar kebutuhan, tetapi juga strategi. Di bawah kekuasaan monarki Pahlevi, Iran menatap Israel sebagai mitra bisnis yang menjanjikan, yang diharapkan dapat mengalirkan kekayaan melalui jalur ekspor minyak. Sementara itu, Israel, yang terhimpit oleh boikot energi yang dipelopori oleh Raja Arab Saudi Faisal bin Abdulaziz, menemukan harapan dalam kerja sama ini.
Kerja sama ekspor-impor minyak antara Iran dan Israel itu diwujudkan melalui pembangunan jalur pipa Eilat-Ashkelon, yang merentang dari Laut Merah hingga Laut Tengah. Menurut analisis Marta Furlan, jalur pipa ini berhasil meningkatkan volume penjualan minyak Iran ke Israel secara signifikan. Pada puncak kerja sama, Iran menyuplai hingga 70 persen kebutuhan minyak Israel. Pipa Eilat-Ashkelon, yang dibangun pada tahun 1968, merupakan simbol dari usaha bersama antara Israel dan Iran selama pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi untuk mengatasi isolasi geopolitik dan ekonomi.
Tak sampai disitu, hubungan kedua negara juga mencakup aspek militer. Dokumen rahasia yang diungkap oleh CIA pada tahun 1985 mengungkap bahwa Israel secara rutin menyediakan senjata untuk Iran selama era Shah Mohammad Reza Pahlavi. Persenjataan yang diperdagangkan bukan hanya mencakup artileri ringan dan amunisi, tetapi juga termasuk kendaraan lapis baja, suku cadang pesawat, dan dukungan teknis untuk perawatan mesin tempur militer Iran.
Penelitian Marta Furlan, juga mengungkap, kerjasama strategis antara Iran dan Israel merambah ke berbagai sektor lain, termasuk pembangunan infrastruktur, pertanian, pengelolaan sumber daya air, dan intelijen. Hubungan diplomatik antara Tel Aviv dan Teheran mencapai titik tertinggi dengan pembukaan kedutaan besar di kedua ibu kota pada pertengahan tahun 1970-an, menandai babak baru dalam sejarah kolaborasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akar Perseteruan
Meskipun Iran dan Israel pernah berbagi meja bisnis, di panggung dunia, Iran tetap menggema dengan narasi anti-Zionis. Narasi ini bukan sekadar kata-kata; ia diwujudkan dalam bentuk dukungan nyata kepada milisi Hizbullah, yang lahir dari debu invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1982. Pasukan Garda Revolusi Iran dikirim untuk melatih milisi ini, menandai awal dari perang proksi yang berkepanjangan antara Iran dan Israel di kancah Timur Tengah.
Pada awal dekade 1990-an, hubungan Iran-Israel mencapai titik nadir. Menurut analisis Steven Simon dalam Iran and Israel (2010), berakhirnya Perang Iran-Irak pada tahun 1988 menjadi momen kritis bagi Iran. Dengan berkurangnya kebutuhan mendesak akan senjata, Iran mulai mengadopsi narasi permusuhan terhadap Israel, mencari dukungan di kalangan negara-negara mayoritas Muslim. Ketegangan ini meningkat di awal milenium baru, terutama setelah kejatuhan Saddam Hussein di Irak dan Taliban di Afghanistan—yang sebelumnya merupakan lawan utama Iran. Kejatuhan kedua rezim tersebut memberikan kesempatan bagi Iran untuk memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut, yang semakin memperumit dinamika hubungan dengan Israel.
Pemilihan Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden Iran pada tahun 2004 menambah bumbu pada rebusan konflik yang sudah mendidih. Sebagai konservatif yang tak kenal kompromi, Ahmadinejad tidak hanya vokal dalam menyerukan penghapusan Israel, tetapi juga berambisi untuk memajukan program nuklir Iran. Pada tahun 2011, ambisi ini berbuah manis ketika Iran mengukir sejarah dengan menjadi negara pertama di Timur Tengah yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir untuk keperluan sipil.
Ketika perang sipil Suriah meletus pada tahun 2011, Iran melihat celah untuk memperkuat cengkeramannya terhadap Israel. Dukungan tak tergoyahkan Teheran terhadap rezim Presiden Bashar al-Assad memberikan keuntungan taktis: akses langsung ke wilayah yang berbatasan langsung dengan Israel.
Dengan posisi strategis ini, Iran mempercepat pengiriman senjata ke Hizbullah di Lebanon, yang berada tepat di sisi barat Suriah. Lebih dari itu, Suriah menjadi arena tempur yang ideal bagi Iran untuk mengasah kemampuan milisi yang mereka dukung. Israel, yang merasa terkepung dari berbagai arah, tidak tinggal diam. Menurut laporan The Times of Israel, Tel Aviv telah melancarkan serangan udara terhadap lebih dari 200 target Iran di Suriah antara tahun 2017 dan 2018. Serangan-serangan ini merupakan manifestasi dari tekad Israel yang tidak akan membiarkan Iran membangun kekuatan militer permanen di Suriah.
Ketegangan meningkat ketika Israel menyerang pangkalan udara Suriah dekat Homs pada April 2018, serangan yang dalam catatan The Guardian, merenggut nyawa banyak warga Iran. Sebulan kemudian, pasukan Quds Iran di Suriah diduga meluncurkan lebih dari 20 roket ke posisi Israel di Dataran Tinggi Golan. Meskipun Iran tidak secara terbuka mengakui atau membantah serangan tersebut, Tel Aviv langsung menanggapi dengan serangan udara balasan terhadap beberapa target strategis Iran di Suriah.
Perang Pengaruh dan Aliansi Strategis
Di luar gurita konflik yang merajalela di medan tempur, perang pengaruh yang tak kalah sengit juga terentang di koridor-koridor diplomatik. Israel, dengan langkah strategisnya, memulai era baru hubungan dengan negara-negara Arab, sebuah manuver yang dianggap sebagai pukulan taktis terhadap Teheran. Kekhawatiran atas dominasi Iran yang semakin meluas di Teluk Arab menjadi katalis bagi monarki-monarki di kawasan untuk membuka pintu dialog dengan Tel Aviv.
Persetujuan Abraham yang terjalin pada Agustus 2020 menjadi simbol kesuksesan upaya ini, dengan Uni Emirat Arab bersejarah sebagai negara Teluk Arab pertama yang menormalisasi hubungan dengan Israel. Namun, ketika konflik Hamas-Israel meledak pada 7 Oktober 2023, brutalitas militer Israel terhadap warga sipil Gaza memaksa negara-negara Arab lain untuk mengambil jarak dari Tel Aviv.
Sementara itu, Iran, kembali mengambil kendali narasi, memperkuat pengaruhnya melalui kelompok-kelompok proksi yang mengelilingi Israel. Pada Januari 2024, sebuah kapal yang ditahan oleh pasukan Amerika Serikat di Laut Arab terungkap membawa aliran senjata dari Iran menuju Houthi di Yaman. Dilaporkan oleh The Times of Israel, intelijen Israel mengungkap peningkatan signifikan dalam pengiriman senjata Iran ke Hizbullah melalui jalur pelabuhan Eropa. Sementara itu, The New York Times mengungkap bahwa Teheran telah memulai distribusi senjata ke kelompok-kelompok perlawanan Palestina di Tepi Barat, menandai babak baru dalam pertarungan bayangan yang terus berkecamuk.
Konflik yang selama ini bersembunyi di balik tirai proksi dan operasi gelap kini melangkah ke panggung terang. Serangan 14 April, meskipun tidak menggoyahkan Israel secara substansial, telah menjadi kemenangan taktis bagi Iran. Sorak sorai ribuan warga Iran yang memenuhi jalan-jalan, dan tepuk tangan penduduk Palestina yang menyaksikan misil-misil Iran menghiasi langit, menjadi bukti nyata.
Aksi peluncuran misil oleh milisi dari berbagai negara menandakan kemampuan Iran untuk mengkoordinasikan serangan besar-besaran di berbagai front. Serangan ini bukan sekadar demonstrasi kekuatan, tetapi juga peringatan dari Iran kepada musuh-musuhnya tentang posisinya yang tangguh di Timur Tengah.
Di sisi lain, meskipun Iran mengklaim Pasal 51 Piagam PBB sebagai dasar hukum serangannya, banyak negara merasa cemas akan efek domino yang mungkin terjadi. Seperti dilaporkan oleh AP, komandan militer Israel menegaskan bahwa mereka akan membalas serangan Iran pada “waktu yang tepat,” menunjukkan keteguhan Israel yang tidak tergoyahkan.
Namun, di tengah ketegangan yang meningkat, masih ada harapan untuk menjaga stabilitas regional dan global. Iran menyatakan bahwa mereka telah mencapai tujuan mereka dan tidak akan melanjutkan serangan. Sementara itu, Presiden AS Joe Biden telah memperingatkan Netanyahu bahwa Amerika Serikat akan menjauh jika Israel membalas. Biden juga menyerukan pertimbangan yang “hati-hati” terhadap risiko eskalasi yang lebih tinggi.