Kalawaca.com – Dua jam sebelum matahari benar-benar melorot. Empat nyawa satu keluarga melepas ikatan hidup, melompat dari pucuk gedung apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara pada Sabtu, 9 Maret lalu. Sang ayah, pilar keluarga yang telah menapaki setengah abad kehidupan bersama istri dan dua anak remaja mereka yang seharusnya masih memiliki banyak mimpi untuk dikejar, berakhir mengenaskan di depan lobi Apartemen. Mereka terbaring tak bernyawa.
Tiga bulan sebelumnya, di Malang, Jawa Timur, seorang ayah, bersama istri dan anaknya yang masih berusia 12 tahun, menutup lembaran hidup. Mereka tak kuasa bernapas dalam cekikan hutang. Peristiwa yang sama tragisnya juga terjadi di Cinere, Depok, Jawa Barat. Seorang ibu dan anaknya terjerat dalam depresi dan kesepian, memilih untuk mengakhiri perjalanan hidup bersama.
Bunuh diri, kabar yang sering kita dengar, adalah cermin dari sebuah masyarakat yang terluka, dimana beban hidup terasa terlalu berat untuk dipikul. Para kriminolog menyebut fenomena ini sebagai ‘kematian putus asa’, sebuah istilah yang menggambarkan keputusasaan yang begitu mendalam hingga mendorong seseorang untuk meninggalkan segalanya. Tetapi, yang sering terlupakan dalam keputusan tersebut, terdapat anak-anak yang mungkin tak memiliki pilihan lain selain mengikuti kehendak orang tua mereka. Mereka adalah korban yang tak terlihat, yang kehilangan masa depan sebelum sempat memilih jalan hidupnya sendiri.
Bunuh Diri Dalam Kanvas Sosial Kita
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sosial yang serba cepat dan penuh tekanan, fenomena bunuh diri layaknya goresan kelam yang tak terhapuskan dalam kanvas sosial kita. Setiap garis tegas yang tercipta bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari jeritan hati yang tak terdengar.
Kasus-kasus di atas hanya sekelumit dari sekian banyak yang tercatat dalam daftar panjang tragedi bunuh diri. Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri mencatat angka yang mengejutkan: sejak awal tahun hingga pertengahan Desember 2023, sebanyak 1.226 jiwa telah memilih untuk mengakhiri hidup mereka. Ini berarti, rata-rata, tiga orang Indonesia setiap hari terdorong ke tepian keputusasaan yang paling ekstrem.
Angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan 902 kasus pada tahun 2022, 629 pada tahun 2021, dan 640 pada tahun 2020. Provinsi seperti Bali, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah tercatat sebagai daerah dengan angka bunuh diri tertinggi, dengan rasio kasus antara perempuan dan laki-laki adalah 1:2,11. Di perdesaan, tragedi ini terjadi hampir 4,47 kali lebih sering daripada di perkotaan.
Namun, apa yang tercatat mungkin hanya puncak gunung es. Banyak kasus yang tidak dilaporkan atau ditutup-tutupi, dengan perkiraan jumlah riil yang mungkin lebih dari tiga kali lipat dari yang tercatat. Penelitian bertajuk Indonesia’s First Suicide Statistics Profile: An Analysis Of Suicide And Attempt Rates, Underreporting, Geographic Distribution, Gender, Method, And Rurality yang terbit Februari 2024 lalu mengungkap, Indonesia merupakan negara dengan tingkat bunuh diri tidak tercatat tertinggi di dunia.
Di tingkat global, angka kematian akibat bunuh diri memang menurun sejak tahun 2000 hingga 2019. Namun, setiap angka yang menurun tidak mengurangi pentingnya setiap kehidupan yang hilang, setiap cerita yang tidak terdengar, dan setiap harapan yang padam sebelum waktunya. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk memperhatikan lebih dekat dan dengan lebih penuh kasih kepada mereka yang berada di sekitar kita.
Jika ditilik berdasarkan kawasan, wilayah Eropa memiliki angka kematian akibat bunuh diri tertinggi dibandingkan lima wilayah lainnya, yaitu mencapai 12,8 kematian per 100.000 jiwa pada 2019. Disusul wilayah Asia Tenggara dengan jumlah 10,1 kematian per 100.000 penduduk pada periode yang sama.
Krisis Kesehatan Mental
Bunuh diri adalah puncak dari keputusasaan, pilihan terakhir bagi mereka yang merasa tak lagi memiliki harapan. Mereka yang terdorong ke jurang ini datang dari latar belakang yang beragam—tanpa memandang usia, status sosial, atau pendidikan. Dari pelajar hingga selebritas, dari ibu rumah tangga hingga kepala keluarga, semua bisa terjerat dalam jeratan ini.
Penelitian Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (IASP) mengungkapkan bahwa depresi meningkatkan risiko bunuh diri hingga 20 kali lipat. Faktor genetik, kondisi otak, dan gangguan mental seperti bipolar, depresi, dan skizofrenia, semuanya berkontribusi pada risiko ini. Bahkan, keputusan untuk bunuh diri bisa terjadi dalam hitungan menit, menunjukkan betapa rapuhnya kesehatan mental seseorang.
Di tengah pergolakan zaman, Indonesia menghadapi gelombang krisis kesehatan mental yang tak terelakkan. Meningkatnya insiden bunuh diri bukan hanya sekedar angka, melainkan suara-suara yang meminta kita untuk memandang kesehatan mental dengan serius, sejajar dengan kesehatan fisik. Namun, ironisnya, masih ada mata yang tertutup, menolak untuk melihat realitas ini.
Mereka, almarhum-almarhum itu, dari benak yang terluka, muncul keinginan untuk mengakhiri segalanya—suatu keputusan yang bukan datang secara tiba-tiba, melainkan hasil dari pertarungan batin yang panjang dan penuh ambivalensi. Studi menunjukkan bahwa lebih dari 90% pelaku bunuh diri adalah mereka yang berjuang dengan gangguan kesehatan mental yang tak terobati.
Kesehatan mental kini mengemuka sebagai keprihatinan yang mendesak, menyalip bayang-bayang kanker dan ragam penyakit degeneratif lainnya. Pandemi COVID-19 yang meringsekkan sebagian ekonomi dunia, telah memperburuk peta kejiwaan manusia, memicu lonjakan kecemasan dan stres yang merentang lintas benua.
Dari panggung dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, satu dari delapan orang hidup dengan gangguan mental. Menyusuri data prevalensi depresi tahun 2023 yang dirilis World Population Review, kita menemukan Ukraina di puncak kesedihan, dengan 2.800.587 kasus depresi, menyentuh angka 6,3 persen dari total populasi.
Di belakangnya, Amerika Serikat berdiri dengan 17.491.047 kasus yang mencerminkan 5,9 persen dari penduduknya, diikuti oleh Australia yang menghitung 1.318.599 kasus dengan proporsi yang sama, dan Estonia dengan 75.667 kasus. Sementara Indonesia, tercatat 9.162.886 kasus depresi, mengukir prevalensi sebesar 3,7 persen dalam tapestri demografi.
Bunuh diri, meskipun pilihan personal, adalah tanggung jawab sosial kita bersama. Keluarga harus menjadi benteng pertama dalam melindungi anggotanya dari tekanan, dan masyarakat harus peka terhadap mereka yang berjuang dalam kesunyian. Kita semua memiliki peran dalam mencegah tragedi ini dan memastikan bahwa setiap individu mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.