Ketika saya menulis ini, Pak Diding mungkin sedang gundah gulana memikirkan nasibnya hari-hari ini dan mendatang. Mungkin ia tengah memikirkan nasib keluarga, istri dan anak-anak, hal paling berat membebani pikiran manusia dewasa yang sudah berkeluarga. Gegara aksinya, kekuasaannya sebagai Ketua Rukun Tetangga ditanggalkan seperti nasib celana balita yang baru saja disiram air seni. Pak Diding tak bisa lagi membantu keperluan warganya, dari mengurus surat menyurat hingga perkara-perkara harian. Jangan dikira menjadi Ketua Rukun Tetangga gampang. Materi yang didapat tak seberapa, sedang tanggung jawab yang dipikul berat. Seringkali menjadi RT itu pengabdian.
Pak Diding Ketua RT 007 RW 02 di Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten. Kampung ini tak jauh dari Universitas Pamulang, kampus yang berdiri pada 2001 dan kini memiliki lebih dari 70 ribu mahasiswa. Yang direnggut bukan hanya kekuasaan, tapi juga kebebasannya. Ia tak bisa leluasa keluar sel Polres Tangerang Selatan sebab disangka pelaku kekerasan di wilayah kekuasaannya, di Jalan Ampera, Minggu malam 5 Mei 2024 sekira pukul 20.00 WIB.
Pak Diding murka kepada puluhan mahasiswa Unpam beragama Katolik dan kebanyakan berasal dari NTT yang tengah membaca rosario di salah satu kos malam itu. Rosario adalah doa renungan atas kehidupan Yesus Kristus, dari kandungan Perawan Maria hingga dimuliakannya Ia di surga. Ia tak sendiri, bersama puluhan lainnya mereka membubarkan kegiatan. Beberapa di antaranya membawa senjata tajam dan melukai seorang di lokasi, tindakan yang tampaknya tak bisa dikatakan spontan.
Saya berusaha membaca latar belakang kasus itu dari media. Tampaknya, ketegangan bukan pertama kali. Pak Teten Haryanto, Lurah Babakan, artinya atasan Pak Diding, yang mengatakan itu kepada media. Mahasiswa itu pernah mendapat teguran sebelumnya. Warga mungkin menegur Ketua RT yang merasa terganggu, Ketua RT menegur mahasiswa. Begitu katanya. Kurang lebih ini perkara ketertiban umum. Begitu katanya lagi.
Perkara ini jelas tak sederhana. Bukan juga perkara “kasuistik”, dilakukan “oknum-oknum”, dan seolah-olah terjadi hanya satu dua di Republik ini, sesuatu yang sering diangkat demi situasi yang lebih aman atau menyederhanakan masalah. Kasus-kasus mirip ini terjadi di sejumlah tempat. Di Bandar Lampung, seorang Ketua RT masuk bangunan milik Gereja Kristen Kemah Daud dan membubarkan ibadah. Ia dinyatakan bersalah dan dibui tiga bulan karena melanggar Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP, pasal tentang pemaksaan, dan perbuatan tidak menyenangkan. Tahun lalu, seorang ketua RT melarang ibadah di Rumah Doa Cahaya Fajar Pengharapan yang beralamat di perumahan Graha Prima Blok S2 Nomor 32, Desa Mangunjaya, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
“Sebagai bagian dari pemerintah, seorang ketua RT seperti Pak Diding merasa perlu menggunakan kekuasaannya yang sah itu dengan cara dan alasan yang dianggap benar. Masalahnya, apa yang dianggap benar itu sering kali belum tentu tepat.”
Aksi membubarkan ibadah, apalagi dengan intimidasi dan kekerasan, kata anak muda sekarang, jelas “butuh effort”. Ia punya risiko dan artinya bukan perkara biasa. Mengapa aksi itu tetap dipilih? Salah satu penjelasannya, jika Anda percaya, ada pada makhluk satu ini: kekuasaan (power) dan penggunaannya. Kekuasaan, sederhanya, bisa diartikan kemampuan atau kapasitas untuk melakukan sesuatu atau bertindak dengan cara tertentu. Ini definisi sederhananya. Konsep yang lebih rumit lagi bisa Anda baca saja dalam tradisi filsafat.
Lantas apa hubungan “kekuasaan” dengan “kasus Pamulang”? Sebab untuk mempertahankan dan menggunakan kekuasaan, dibutuhkan identitas dan kekerasan –dalam maknanya yang luas berupa kekerasan fisik dan non-fisik. Ini bukan kata saya, tapi hipotesis yang dibangun Guy Elcheroth dan Stephen Reicher dalam Identity, Violence, and Power, Mobilising Hatred, Demobilising Dissent. Elcheroth sarjana dari Universitas Lusaane Switzerland dan Reicher dari Universitas St Andrew Inggris. Kedunya mengatakan ini dibuku yang terbit pada 2017 itu: kekuasaan, terutama kekuasaan para elite, diproduksi melalui kekerasan dan identitas.”
Kekuasaan bisa datang dari mana saja. Dan kekuasaan seorang ketua RT datang dari jalur formal dan informal sekaligus. Di Indonesia, seorang ketua RT dipilih lewat tata cara yang dimuat peraturan perundang-undangan. Menurut sejarah, RT dan ketuanya merupakan “perpanjangan pemerintah” setelah desa. Konsep RT konon warisan pemerintah Jepang yang disebut tonarigumi, artinya kerukunan tetangga, yang dirawat Indonesia setelah merdeka hingga hari ini. Jadi, ketua RT memegang kekuasaan sah negara. Perilakunya dibatasi aturan negara.
Selain kekuasaan formal, seorang RT sering dipilih karena kepercayaan warga. Mereka biasanya orang yang dituakan, dianggap mampu, dan dinilai siap menghibahkan waktu dan tenaganya. Bahwa sering kita dengar pemilihan ketua RT dinodai politik uang seperti pemilihan kepala desa atau anggota legislatif, itu perkara lain lagi. Dengan penjelasan ini, jelas di tangan ketua RT terdapat dua kekuasaan itu.
“Apakah kekuasaan Pak RT itu bisa dengan sendirinya efektif digunakan? Mengapa massa atau sekelompok orang rela melakukan tindakan berisiko dalam bentuk kekerasan sedang dalam kasus lain seperti imbauan jangan membakar sampah tak warga hiraukan?”
Sebagai bagian dari pemerintah, seorang ketua RT seperti Pak Diding merasa perlu menggunakan kekuasaannya yang sah itu dengan cara dan alasan yang dianggap benar. Masalahnya, apa yang dianggap benar itu sering kali belum tentu tepat. Misalnya, Pak Diding mungkin beranggapan bahwa yang namanya ibadah harus di tempat ibadah karena begitu menurutnya aturan menetapkan. Ia mungkin lupa bahwa ibadah di kalangan Katolik dan Kristen juga beragam, bukan hanya kebaktian saban minggu di gereja. Rosario salah satunya.
Jika membaca rosario dilarang karena alasan kebaktian, tidakkah tahlil, membaca barjanzi, atau kegiatan lain yang juga dilakukan di rumah, kos, dengan berkerumun dan suara keras seharusnya dilarang. Bahwa demi menjaga “ketertiban publik” semua diatur agar tidak melanggar hak-hak dasar lain, tentu saja masuk akal. Masalahnya bukan di situ, tetapi bahwa penerapan aturan yang tak adil. Yang satu dibolehkan, lainnya tidak. Ini tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam saja. Pada agama lain di Indonesia, fenomena ini terjadi dengan korban warga muslim.
Apakah kekuasaan Pak RT itu bisa dengan sendirinya efektif digunakan? Mengapa massa atau sekelompok orang rela melakukan tindakan berisiko dalam bentuk kekerasan sedang dalam kasus lain seperti imbauan jangan membakar sampah tak warga hiraukan? Di sini identitas penting bagi pelumas kekuasaan. Identitas yang Pak RT dan para pelaku itu bayangkan dapat memainkan peran penting yang mengikat mereka, bahkan lebih dari mereka: identitas tentang pendatang, non-muslim, warga asli sini, orang sini, dan seterusnya. Identitas akan menghubungkan dan menggerakkan.
Bagi kekuasaan, kata Elcheroth dan Reicher, identitas berfungsi sebagai “koordinasi epistemis” , sederhananya pemahaman yang mengaitkan di kepala masing-masing orang. Keduanya menyebut juga identitas arena tempat kesadaran kolektif dan agensi kolektif terbangun. Sederhananya menjadi sesuatu yang membuat kita sadar dan tergerak. Contohnya, jika kita marah karena tempat kelahiran kita disebut terbelakang dan norak lantas ingin menggerakkan orang-orang kampung kita, itulah maksud dari kesadaran kolektif dan agensi kolektif.
Sebagai cantolan pengetahuan massa, identitas akan mampu menarik pikiran mereka pada sejarah masa lalu, sekarang, dan peristiwa-peristiwa penting. Misalnya bayangan tentang kristenisasi, permusuhan orang kafir, stereotip bahwa orang luar Jawa kasar. Semuanya beroperasi melalui identitas. Dengan cara itulah kekuasaan Pak RT dapat efektif. Tanpa identitas, kekuasaan tak bertenaga bagai kerupuk disiram air. Seperti terjadi di masa-masa sebelumnya, Karena dampak identitas juga besar, sering kali orang mau menutupinya sebagai akar masalah.
Alamsyah M Dja’far | Peneliti Wahid Foundation