Kalawaca.com – Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah menimbulkan berbagai reaksi dan kritik. Kebijakan yang mengatur pemotongan gaji sebesar 2,5% setiap bulan ini dianggap memberatkan, terutama bagi pekerja dengan penghasilan terbatas.
Salah satunya diungkap oleh Zakaria (31), seorang karyawan swasta. Ia menyampaikan keberatannya terhadap kebijakan yang baru saja disahkan oleh Presiden Joko Widodo itu.
“Saya tidak setuju jika harus ada pemotongan gaji yang diwajibkan. Ini memberatkan,” Terangnya pada Kalawaca, Jumat, (31/5/2024).
Menurut Zakaria, kebijakan ini seharusnya lebih mempertimbangkan kondisi finansial individu dan menyediakan alternatif bagi mereka yang tidak mampu. Ia menyarankan agar ada skala pemotongan yang berbeda atau opsi lain, bukan hanya pemotongan gaji secara langsung yang dapat membebani semua pihak secara sama.
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) juga mengkritik kebijakan ini. Elly Rosita Silaban dari Dewan Eksekutif Nasional KSBSI menyatakan, penerapan UU Tapera tidak menjamin bahwa buruh yang telah dipotong upahnya sejak usia 20 tahun hingga pensiun akan mendapatkan rumah. Ditambah lagi, sistem hubungan kerja yang fleksibel, seperti kontrak kerja, membuat harapan ini semakin jauh.
“Pemerintah seharusnya memaksimalkan Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BPJS Ketenagakerjaan untuk mewujudkan kepemilikan rumah bagi para buruh yang belum memiliki rumah. Program MLT yang masih berjalan diharapkan dapat membantu mencapai target kepemilikan rumah yang diinginkan.” Ujar Elly Rosita dalam rilis pers yang diterima Kalawaca Jum’at, (31/5/24).
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (Celios), menenilai pemerintah sebenarnya berkeinginan untuk berinvestasi. Berdasarkan penelusurannya, dana Tapera yang terkumpul akan dikelola dalam portofolio investasi yang mencakup 47% ke korporasi, 45% ke Surat Berharga Negara (SBN), dan sisanya ke deposito.
Lebih lanjut, Nailul berpendapat, dengan alokasi 45% ke SBN, pemerintah akan lebih mudah menerbitkan SBN karena dapat dibeli oleh badan pemerintah sendiri. Dalam hal ini termasuk BP Tapera dengan menggunakan dana dari masyarakat.
“Pemerintah berencana meningkatkan bunga SBN, yang akan menambah beban hutang. Di saat sektor swasta enggan berinvestasi di SBN, badan pemerintah, termasuk BP Tapera yang salah satu pejabatnya adalah Menteri Keuangan, menjadi alternatif untuk penyerapan SBN,” ujar Nailul, seperti dilansir Kontan Rabu (29/5/2024).
Dampak lain dari kebijakan ini adalah pada ekonomi, khususnya konsumsi masyarakat. Dengan adanya pemotongan pendapatan yang disetorkan ke negara melalui Tapera, konsumsi masyarakat diprediksi akan berkurang.