Beranda Pendidikan YCG Ajak Guru Tingkatkan Pembelajaran Sosial dan Emosional

YCG Ajak Guru Tingkatkan Pembelajaran Sosial dan Emosional

Tangkapan layar Diskusi dan Refleksi Guru “Pembelajaran Sosial dan Emosional, Mengapa Penting?” yang dilaksanakan Yayasan Cahaya Guru, Jumat 31 Mei 2024. Sumber: Dok. Yayasan Cahaya Guru
Tangkapan layar Diskusi dan Refleksi Guru “Pembelajaran Sosial dan Emosional, Mengapa Penting?” yang dilaksanakan Yayasan Cahaya Guru, Jumat 31 Mei 2024. Sumber: Dok. Yayasan Cahaya Guru

Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru (YCG) Muhammad Mukhlisin menyebutkan, tingginya angka kekerasan dan perundungan di kalangan pelajar perlu segera diantisipasi dan ditangani. Pihaknya mengajak para guru untuk meningkatkan pembelajaran sosial dan emosional kepada para siswa.

Seorang siswa SMP di Tebet, Jakarta Selatan, melompat dari lantai 3 gedung sekolahnya pada Minggu, 26 Mei 2024. Kejadian ini menambah daftar kasus kekerasan di sekolah.  Yayasan Cahaya Guru (YCG) mencatat 44 kasus dari Januari hingga Mei 2024. Penyebabnya, antara lain siswa merasa diabaikan oleh teman-temannya. Ketidakmampuan siswa dalam mengelola emosi dan hubungan sosial menyebabkan mereka memilih untuk melukai diri atau orang lain. 

Muhammad Mukhlisin menegaskan bahwa guru harus mendampingi siswa tidak hanya dalam akademik, tetapi juga dalam keterampilan sosial dan emosional.

“Belakangan kita melihat aksi-aksi kekerasan, perundungan, dan percobaan bunuh diri terjadi di lingkungan sekolah. Murid-murid dan guru penting sekali mengenali ragam emosi dan bagaimana mengelola emosi tersebut dengan tepat. Hal penting juga adalah bagaimana membuat hubungan yang harmonis dengan orang lain.” ucap Mukhlisin. 

Psikolog Myra Diarsi dari Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya (Himpsi Jaya) menyebut sistem pendidikan yang membatasi kreativitas dan menekan siswa untuk tidak membuat kesalahan sebagai faktor yang mempengaruhi emosi remaja. 

”Kekeliruan sistem pendidikan ini masih menghidupi feodalisme sampai sekarang. Seharusnya tidak ada lagi sindrom hierarki antara guru dan murid. Antara murid dan guru itu sekarang masih tidak boleh tanya apalagi kritik, ini yang harus ditanggalkan,” kata Mrya.

Menurut Myra, relasi antara guru dan murid harus dua arah dan tidak hanya teknis. Guru harus mendengar dan membangun komunikasi interpersonal untuk mengelola emosi dan menerima perbedaan. 

”Seringkali relasi guru dan murid ini tereduksi menjadi relasi teknis hanya sepanjang bahan ajar sudah disampaikan guru dan peserta didik sudah mencatat. Namun, apakah dia (murid) terlibat di situ? ini yang tidak diperhatikan guru,” kata Myra.

Pemerhati pendidikan Shahnaz Haque menekankan pentingnya guru dan orang tua membangun relasi yang setara di rumah dan menularkannya ke lingkungan sekolah. 

”Ketika kita bisa menyelesaikan masalah dengan pasangan atau anak, maka ketika berhadapan dengan manusia-manusia di sekolah, kita sudah terlatih menghadapi perbedaan,” kata Shahnaz.

Namun, guru di Indonesia menghadapi beban kerja berat dan kesejahteraan rendah. Riset Education Week menunjukkan guru membuat sekitar 1.500 keputusan per hari. Hal ini  menyebabkan kelelahan. Sementara itu, Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mengungkapkan 74 persen guru berpenghasilan di bawah Rp 2 juta. 

Seorang Guru PAUD, Nuning Rahmawati, menyebut beban kerja guru sangat besar tanpa penghargaan yang memadai secara nominal atau gaji. 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini