Kalawaca.com – Indonesian Parliamentary Center (IPC) dalam riset terbarunya mengungkapkan bahwa minimnya oposisi di parlemen telah berdampak terhadap lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2019-2024. IPC mencatat bahwa dinamika koalisi-oposisi di parlemen selama periode ini menunjukkan melemahnya oposisi, yang berimplikasi pada efektivitas pengawasan DPR.
Pada awal periode 2019, koalisi pemerintahan terdiri dari PDIP, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, dan Hanura dengan 60,3 persen kursi di parlemen, sementara oposisi terdiri dari Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS dengan 39,7 persen kursi. Namun, pada tahun 2020, Gerindra bergabung dengan koalisi, meningkatkan kekuatan koalisi menjadi 74 persen dan meninggalkan Demokrat, PAN, dan PKS sebagai oposisi dengan 26 persen kursi.
Pada periode 2021-2022, koalisi semakin kuat dengan masuknya PAN, sehingga menguasai 82 persen kursi di parlemen, sementara oposisi hanya terdiri dari PKS dan Demokrat dengan 18 persen kursi. Memasuki tahun 2023 hingga Pilpres 2024, terjadi pergeseran besar dengan koalisi terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN dengan 45 persen kursi, sementara PDIP dan PPP menjadi oposisi dengan 26 persen kursi. Partai-partai seperti PKB, Nasdem, dan PKS memilih untuk tidak bersikap, menguasai 29 persen kursi.
Pada Pilpres 2024, oposisi terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, dan Nasdem dengan 56 persen kursi, sementara koalisi hanya terdiri dari PDIP dengan 22 persen kursi. PPP, PKS, dan PKB memilih untuk tidak bersikap, menguasai 22 persen kursi.
Peneliti IPC, Arif Adiputro, menyatakan bahwa lemahnya oposisi berdampak langsung pada kualitas pengawasan yang dilakukan oleh DPR.
“Minimnya oposisi membuat pengawasan DPR menjadi kurang efektif. Banyak isu publik yang tidak ditindaklanjuti dengan menggunakan hak angket dan hak interpelasi oleh DPR 2019-2024, seperti tragedi kanjuruhan, kelangkaan minyak goreng, dan kecurangan pemilu,” terang Arif saat peluncuran Laporan Evalusi Kinerja DPR RI Periode 2019-2024, Jakarta, Senin 30/9/2024.
Dalam hal pengawasan, DPR telah mengadakan 3.824 rapat pengawasan, dengan 31 persen di antaranya dilakukan secara tertutup. Komisi I dan Komisi VI tercatat paling banyak melakukan rapat tertutup, masing-masing dengan 250 dan 200 rapat tertutup. DPR juga membentuk 50 panitia kerja pengawasan, namun 29 di antaranya belum menyelesaikan tugasnya. Dari 21 panja yang telah menyelesaikan pengawasannya, hampir semua rekomendasi tidak diimplementasikan oleh pemerintah. Hanya 37 persen rekomendasi DPR yang ditindaklanjuti, sementara 63 persen tidak dilanjutkan.
Walaupun rapat-rapat pengawasan diadakan, sering kali pembahasannya tidak mendalam dan hanya bersifat normatif tanpa evaluasi substansial. Hingga saat ini, hanya satu pansus yang terbentuk, yaitu Pansus Angket Haji, yang dibentuk di akhir periode.
IPC juga menyoroti fungsi APBN sebagai alat distribusi kesejahteraan kurang diperhatikan oleh DPR. Tingkat pengangguran tetap tinggi, namun DPR kurang serius dalam membahas RAPBN yang mengalokasikan anggaran terbesar kepada K/L yang tidak berkaitan langsung dengan penguatan ekonomi. Dampak perubahan iklim juga belum mendapat perhatian yang cukup dalam pengawasan anggaran DPR. DPR malah menaikkan pos PNBP SDA dari batubara, gas, dan minyak bumi serta menaikkan subsidi BBM, sementara subsidi untuk energi terbarukan baru dibahas pada pertengahan 2023.
Arif Adiputro menambahkan, partai-partai lebih cenderung memposisikan diri berdasarkan di mana kekuasaan eksekutif berada, bukan berdasarkan visi-misi dan komitmen untuk memperkuat demokrasi. Akibatnya, partisipasi publik sering kali diabaikan dalam proses legislasi.
Hal ini terlihat dalam beberapa kasus, seperti pembahasan undang-undang yang sering kali dilakukan secara cepat dan tertutup, tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Ia menontohkan pembahasan UU Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020. Meskipun mendapat banyak kritik dari masyarakat, DPR tetap mengesahkan dengan proses yang minim transparansi.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya terhadap uji formil UU Cipta Kerja telah menekankan pentingnya partisipasi publik yang bermakna ketika membuat kebijakan. Namun, banyaknya uji formil undang-undang yang diajukan ke MK, seperti UU Minerba dan UU KPK, gagal untuk membuktikan bahwa DPR minim pelibatan partisipasi publik dalam membuat kebijakan. Hal ini menurut Arif, karena bukti-bukti di persidangan semua dikendalikan oleh DPR, sehingga sulit pembuktiannya.
“Partisipasi publik dibunuh dua kali. Pertama oleh DPR yang tidak mengedepankan partisipasi bermakna, dan kedua oleh MK yang menolak uji formil karena kurangnya bukti partisipasi tersebut,” pungkasnya.