Beranda Warta Rapat Tertutup dan Rendahnya Komitmen Komisi VII DPR RI Terhadap Transisi Energi

Rapat Tertutup dan Rendahnya Komitmen Komisi VII DPR RI Terhadap Transisi Energi

Kalawaca.com – Transparansi dan komitmen Komisi VII DPR terhadap transisi energi menjadi sorotan dalam Diskusi Media bertema “Menakar Keseriusan Pemerintah dan DPR dalam Mendorong Transisi Energi untuk Pertumbuhan Ekonomi” yang digelar di Aliansi Jurnalis Idependen, Selasa, (16/10/2024). Laporan Indonesian Parliamentary Center (IPC) mengungkap bahwa dari 159 rapat yang diadakan oleh Komisi VII, 24% di antaranya bersifat tertutup, dengan agenda minerba sebanyak 19 rapat dan migas 17 rapat, sementara RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) hanya 8 rapat.

Kurangnya keberpihakan Komisi VII pada transisi energi tercermin dari dominasi topik minyak dan gas (migas) serta mineral dan batubara (minerba) yang mencakup lebih dari 50% topik pembahasan dalam rapat-rapat Komisi VII. Sebaliknya, percakapan tentang transisi energi hanya mencapai 10%.

Peneliti IPC, Johan Mahesa, menyatakan bahwa dominasi topik migas dan minerba menunjukkan kekuatan berlebih dari eksekutif dan pengusaha dalam proses pengambilan keputusan. “Dari 159 perusahaan yang diundang rapat, 37% di antaranya sektor minerba dan 15% sektor migas, yang menunjukkan kekuatan berlebih dari eksekutif dan pengusaha dalam proses pengambilan keputusan,” kata Johan.

Keputusan Komisi VII yang cenderung berpihak pada energi fosil menghambat pengitas Prolegnas 2019-2024. RUU EBET, yang seharusnya menjadi landasan untuk mempercepat transisi energi, kerap terhambat karena kurangnya keberpihakan pada energi terbarukan. Syahrani, peneliti ICEL, menyatakan bahwa RUU EBET dan RPP KEN tidak menjawab tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. “Klausul dalam RUU EBET dan RPP KEN juga tidak mendorong keekonomian proyek energi terbarukan. Padahal, hal ini salah satu caranya bisa dilakukan dengan mengurangi subsidi batu bara, misalnya. Karenanya, DPR periode baru perlu memperbaiki draf RUU EBET dan mencabut persetujuan RPP KEN,” kata Syahrini.

Keadaan ini berdampak pada iklim investasi energi terbarukan di Indonesia, yang menurut Christoper Liawan, CEO Solar Karya Indonesia, kurang kondusif akibat regulasi yang sering berubah. “Perubahan kebijakan, seperti dihilangkannya insentif skema ekspor-impor listrik antara pelanggan dengan PLN, menyebabkan minat masyarakat memasang PLTS atap menurun. Saat ini, Solar Karya Indonesia lebih menyasar market luar negeri karena demand yang besar dan regulasi yang pasti,” ucap Christopher.

Johan Mahesa menegaskan bahwa transparansi pembahasan RUU EBET sangat penting karena krusial untuk masa depan Indonesia. “Kebijakan yang diambil dalam sektor ini akan berdampak jangka panjang pada lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Karenanya, proses legislasi perlu dilakukan secara terbuka dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil,” jelas Johan.

Sejalan dengan itu, Syahrani juga menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Saat ini, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan hanya berada di level akhir, misalnya dalam penyusunan RUU EBET. Sebelumnya, masyarakat dapat terlibat sejak penyusunan kebijakan.

“Kami berharap DPR periode baru bisa lebih terbuka dalam pembahasan kebijakan energi ke depannya, juga secara proaktif melibatkan masyarakat sipil dalam penyusunannya,” tutup Syahrani.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini