Beranda Kalapikir Mbak Yenny Wahid dan Ceritanya

Mbak Yenny Wahid dan Ceritanya

Apa yang dilakukan putri-putri Mbak Yenny siang itu amat mengesankan. Saya lupa kapan persisnya, mungkin sekitar 2018. Kami masih ngobrol ngalor-ngidul sebelum rapat dimulai di ruang Rumah Pergerakan Gus Dur di Taman Amir Hamzah. Hari itu Mbak Yenny datang dan hendak mendengar perkembangan program. Tiba-tiba kedua putrinya datang dari balik pintu. Mbak Yenny meminta mereka bersalaman dengan setiap orang yang hadir di situ. Cucu-cucu Gus Dur itu berkeliling menyalami kami. Tak ada yang terlewat. Amat mengesankan sebab dengan kebesaran nama keluarga itu, mereka dapat tak melakukannya.

Belakangan saya mengerti memang begitulah Mbak Yenny mendidik anak-anaknya. Maika, puteri pertama Mbak Yenny, mengatakan ia belajar sopan santun dari mamanya. “Aku dikenali teman-teman Mama. Diajari sopan santun. Kalau bertemu orang walaupun nggak kenal sikapku harus bagaimana. Cara ngomong sampai cara duduk diajari sama Mama,” Katanya seperti dikutip dalam Original Yenny Wahid, sebuah buku persembahan 50 tahun Mbak Yenny.

Terhadap orang-orang besar dan populer, saya memang selalu ingin melihat hal-hal kecil. Sebab dari hal-hal kecil jangan-jangan saya bisa memahami nilai dan kebesarannya. Bagaimana mereka memperlakukan orang; orang biasa, setengah biasa, orang populer, orang tidak populer, pejabat, bukan pejabat, miskin atau kaya. Saya ingin melihat gerak-gerik tubuhnya, caranya berbicara ketika gembira, bersemangat, dan marah. Sedang hal-hal besar seperti gagasan besar mungkin sudah banyak dibicarakan dan diliput media. Saya percaya ujian terbesar manusia kadang-kadang bukan pada keterbatasan, tapi karena kecukupan. Jika Anda punya nama besar, ujian terberat tak lain cara memperlakukan orang kecil saat Anda memiliki kemampuan dan kecukupan melakukannya.

Selama berinteraksi dengan Mbak Yenny, saya suka mengamati gerak-geriknya. Dan salah satu paling mengesankan adalah caranya memperlakukan orang. Dengan kebesaran nama dan apa yang dimilikinya saat ini, ia berkecukupan untuk memperlakukan orang, terutama orang-orang biasa, dengan gerak-gerik berbeda. Kenyataannya itu jarang terjadi. Ketika saya aktif berkantor di Wahid Foundation, saban bulan rupa-rupa orang datang. Dari kalangan elite hingga orang-orang biasa. Perlakuannya tak berbeda. Saya kira teman-teman di Wahid bisa merasakannya. Tentu saja ia beberapa kali pernah marah pada kami untuk alasan-alasan tertentu. Tapi, gerak-geriknya unik. Jika suaranya agak tinggi dan memborbardir dengan pertanyaan, artinya ia sedang marah. Itu kesimpulan saya.

Pernah suatu ketika, saya kaget sebab asistennya menghubungi saya, meminta nomor rekening, dan akan mengirimi donasi jutaan rupiah untuk pembuatan kaki palsu. Padahal saya tak pernah memberi tahu ini padanya. Kaki palsu itu milik seorang pelajar di Pulau Tidung yang kehilangan kaki akibat ditubruk truk. Dari buku Original Yenny Wahid, saya pun mengerti mengapa ia punya kepekaan terhadap isu difabilitas. Saat remaja, ia pernah menjadi relawan pada sebuah organisasi difabel begitu berbekas. Selama masa magang, pekerjaannya membacakan buku-buku pada orang-orang tuna tera. “Itu pengalaman berharga dan bisa saya gunakan saat mendampingi Gus Dur,” katanya. Mbak Yenny biasa membacakan buku-buku untuk Gus Dur.

Saya sepenuhnya setuju dengan penilaian Pak Greg Barton, salah seorang sahabat Gus Dur dan Mbak Yenny. Penulis biografi Gus Dur asal Australia itu mengatakan ini. “Yang lebih mengesankan lagi adalah bagaimana dia tetap konsisten menunjukkan sisi kemanusiaannya yang hangat di luar sorotan publik. Bagi beberapa orang popular dan terkenal, kehidupan pribadi seringkali sangat berbeda dengan persona yang mereka tunjukkan ke publik,” katanya. Pak Greg sudah berteman dengan Mbak Yenny sejak tahun 90-an. Ia juga salah seorang pendiri Wahid Foundation bersama Gus Dur, Mbak Yenny, dan mas Ahmad Suaedy. “Ia bahkan merupakan seseorang yang lebih banyak hal yang mengesankan dalam kehidupan pribadi,” kata Pak Greg lagi.

Ketika diminta memberi testimoni di hari ulang tahunnya minggu lalu, begitulah yang saya katakan. “Saya mengamati bagaimana Mbak Yenny memperlakukan orang. Mbak Yenny dapat dan punya banyak kecukupan untuk memperlakukan orang berbeda sesuai latar belakang mereka. Tapi, ia mampu menahan dirinya dan berusaha memperlakukan sebagaimana mestinya,” kata saya. Uniknya, sikap yang kurang lebih sama ditunjukkan oleh seluruh putri Gus Dur. Mungkin itulah “beban” yang mereka harus tanggung sepanjang hidup sebagai puteri-puteri Gus Dur.

Jakarta Utara, 5 November 2024
Alamsyah M Dja’far.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini