Ada ruang tertutup, tanpa jendela, tanpa jam. Sebuah sofa di sudut, cermin yang tak memantulkan bayangan, dan tiga manusia yang saling terperangkap. Inilah panggung Huis Clos, drama Jean-Paul Sartre, yang menawarkan neraka tanpa api. Tak ada iblis dengan cambuk berduri, hanya tiga orang yang duduk, saling memandang, saling menguliti.
Di sini, Sartre bicara tentang neraka dengan cara yang mengejutkan: ia bukan tempat, melainkan hubungan. Garcin, seorang jurnalis yang dihantui rasa bersalah; Inès, wanita yang tajam dan manipulatif; Estelle, penggoda yang penuh kepalsuan. Mereka datang dengan masa lalu masing-masing, penuh dosa dan rahasia, hanya untuk saling menelanjangi jiwa satu sama lain. Tak ada yang bisa lari, karena pintu tertutup—dan lebih dari itu, karena mereka butuh satu sama lain untuk memastikan keberadaan mereka.
“L’enfer, c’est les autres.” Kalimat itu mungkin salah satu yang paling sering dikutip—dan disalahpahami—dalam filsafat eksistensialis. Orang-orang suka menganggapnya sebagai cemooh terhadap hubungan manusia. Tapi Sartre bicara lebih dalam dari itu. Neraka adalah orang lain bukan karena mereka jahat atau menjengkelkan. Melainkan karena, melalui tatapan mereka, kita kehilangan diri kita sendiri.
Garcin ingin dianggap sebagai pria pemberani, tapi tatapan Inès membuatnya pengecut. Estelle ingin dipuja sebagai wanita cantik, tapi cermin tak memantulkan apa-apa. Mereka semua adalah tawanan persepsi, hidup dalam jerat penghakiman yang tak pernah selesai.
Bukankah itu kehidupan kita juga? Di era ini, di mana cermin adalah layar ponsel, dan neraka ada di kolom komentar? Kita menunggu validasi dari “like” atau emoji senyum. Kita terus-menerus mematut diri, memastikan diri kita ada, melalui tatapan digital yang tak pernah benar-benar mengenal kita.
Di Indonesia, ujaran kebencian merajalela di ruang maya. Angkanya menakutkan: lebih dari 182 ribu ujaran kebencian tercatat selama masa kampanye Pemilu 2024. Di media sosial, platform yang seharusnya menjadi ruang komunikasi, berubah menjadi neraka kecil. Tatapan orang lain kini berupa komentar penuh cemoohan, ancaman, dan hinaan.
Sartre, mungkin, sudah membayangkan ini. “L’enfer, c’est les autres,” katanya. Neraka adalah orang lain. Garcin, Inès, dan Estelle di Huis Clos saling menyiksa dengan tatapan dan kata-kata. Kini, kita melakukan hal yang sama, tetapi dengan unggahan dan notifikasi. Data menunjukkan, mayoritas ujaran kebencian di Indonesia selama lima tahun terakhir menyasar identitas bahkan penyandang disabilitas. Tidak ada cermin di ruang maya, tetapi komentar orang lain menciptakan refleksi yang seringkali menyakitkan.
Di Jawa Barat, provinsi dengan kasus ujaran kebencian tertinggi selama Pilkada 2024, komentar-komentar itu menumpuk seperti arang yang siap membakar. Di kolom komentar, “meme” menjadi senjata; di “thread,” fakta dan kebohongan saling tumpang tindih. Apakah ini bukan neraka? Sartre mungkin akan tersenyum pahit: “Bukankah kita sudah tahu jawabannya?”
Tapi, Sartre juga bicara soal kebebasan. Di ruang tertutup Huis Clos, ketiga tokohnya terjebak karena mereka menolak bertanggung jawab atas kebebasan mereka sendiri. Sama seperti kita, yang sering menyalahkan algoritma, politikus, atau platform media sosial atas kebencian yang bertebaran. Padahal, pilihan untuk berhenti—untuk tidak menjadi penyumbang kebencian itu—ada di tangan kita.
Neraka memang ada. Tapi Sartre benar, neraka itu adalah pilihan. Apakah kita mau terus menciptakannya, atau, seperti pintu yang tertutup di akhir Huis Clos, akhirnya kita berani membukanya dan keluar? Di dunia yang semakin terfragmentasi oleh kebencian, mungkin inilah pertanyaan yang harus kita renungkan. Di luar layar, mungkin ada cermin yang sesungguhnya—dan keberanian untuk melihatnya adalah langkah pertama kita keluar dari neraka.
Sartre menulis Huis Clos pada 1944, di tengah Perang Dunia, tapi pesan itu tetap hidup. Ia bicara tentang kebebasan, tanggung jawab, dan ketakutan. Kebebasan adalah menerima diri sendiri, berdiri tanpa cermin. Tapi tanggung jawab itu berat, karena itu kita sering bersembunyi di balik orang lain. Kita menyalahkan tatapan mereka, padahal kitalah yang menyerahkan kebebasan itu pada mereka.
Akhirnya, Garcin, Inès, dan Estelle tetap tinggal di ruangan itu. Tak ada pelarian. Mereka hanya saling melukai dengan kata-kata dan tatapan. Tapi bukankah itu, sekali lagi, hidup kita? Dunia tanpa pintu keluar, karena kita tak pernah benar-benar mau keluar. Kita takut, karena di luar sana hanya ada satu kebenaran sederhana: kita sendirilah yang menciptakan neraka itu.
Nurhidayat
Bandung-Jakarta, 29 November 2024