Beranda Kalapikir Thomas Piketty dan Sosialisme

Thomas Piketty dan Sosialisme

Thomas Piketty mungkin tak pernah menyangka dirinya akan menyuarakan sosialisme. Ketika namanya melambung lewat Capital in the Twenty-First Century (2014), ia adalah ekonom Prancis yang, meskipun kritis terhadap kapitalisme, tetap berjarak dari radikalisme Marx. Ia memperlihatkan sebuah hukum tak tertulis: kapitalisme menciptakan jurang. Kekayaan selalu mengalir ke segelintir orang karena laba dari modal lebih cepat bertumbuh daripada ekonomi secara keseluruhan. Maka, jurang itu kian menganga, dan kesetaraan menjadi angan.

Tapi sejarah menyisipkan jeda: pertengahan abad ke-20. Perang Dunia meluluhlantakkan kekayaan di Eropa, tanah yang paling Piketty pahami. Para kapitalis kehilangan aset, dan dunia pascaperang menyaksikan mimpi egaliterisme. Namun, Amerika, sang pemenang perang, kaya raya. Perang tidak menyentuh tanah mereka. Pabrik-pabrik berdentang, menciptakan kekayaan baru.

Lalu kapitalisme kembali ke wataknya. Setelah 1973, segalanya berjalan mundur. Ketimpangan merajalela, globalisasi melahirkan kembali laissez-faire. Kekuasaan, sebagaimana dicatat Piketty, selalu berada di tangan mereka yang memiliki.

Kini, di tengah dunia yang membara, Piketty menulis “Long Live Socialism!”. Sebuah ironi. Ia yang dulu percaya pada pajak progresif dan negara kesejahteraan kini mengakui, itu tidak cukup. Kesetaraan pendidikan? Tak memadai. Negara kesejahteraan? Hanya perban di luka kapitalisme. Ia menyerukan transformasi: representasi pekerja dalam perusahaan, pembagian kekayaan yang lebih adil, hingga pajak atas warisan untuk membiayai modal universal bagi generasi muda.

Piketty juga menantang globalisasi. Ia meminta kita meninggalkan ilusi perdagangan bebas. Sebaliknya, ia membayangkan dunia yang berlandaskan prinsip keadilan ekonomi, fiskal, dan lingkungan.

Tapi seberapa jauh dunia mendengarkan? Piketty adalah selebritas intelektual, mungkin salah satu suara paling keras melawan ketimpangan. Namun, ia juga manusia yang tak lepas dari kelemahan. Kumpulan tulisannya di Le Monde, kini dibukukan, terasa tak merata. Beberapa kolom tampak ketinggalan zaman, yang lain terasa seperti pengulangan.

Namun, barangkali di situ letak pentingnya. Piketty, dalam segala keterbatasannya, memahami bahwa kapitalisme adalah mesin yang tidak mengenal jeda. Dan untuk menghentikannya, suara-suara seperti ini harus terus diulang, meski hanya sebagai gema.

Apa yang ia tawarkan mungkin bukan hal baru. Tapi pada zaman ketika ketimpangan semakin terasa sebagai takdir, keberanian untuk berkata, “Waktu untuk sosialisme telah tiba,” adalah sebuah tantangan yang mengguncang. Dan di situlah Piketty berdiri, di persimpangan paradoks dan perlawanan.

Nurhidayat | Jagakarsa, 1 Desember 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini