Anak itu seperti mengenggam dendam. Pada dini hari, 30 November 2024, di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ribut. Seorang anak membunuh ayah dan neneknya memakai pisau dapur. Anak yang baru menginjak usia 14 tahun itu juga menusuk ibunya, tetapi sang ibu berhasil selamat meski mengalami luka parah. Tetangga yang terbangun karena keributan itu berkerumun di sekitar rumah, menyaksikan kengerian itu.
Apa yang terjadi di balik dinding rumah itu masih menjadi misteri. Namun yang jelas, peristiwa ini menampakkan sesuatu yang lebih dari sekedar pembunuhan. Dalam sejarah manusia, membunuh ayah ibu atau orang dekat bukan sekadar kriminalitas. Ia disebut parisida.
Parisida lahir dari bahasa Latin: parricide. Pada awalnya, ia berarti membunuh orang terdekat. Kemudian ia berkembang menjadi parricidium, di mana “par” mengacu pada pater—ayah. Seperti semua kata yang membawa beban sejarah, parricide pun bermigrasi ke bahasa Inggris di abad ke-18, membawa maknanya yang tajam: pembunuh orang tua mereka sendiri. Dalam perjalanan itu, ia berubah dari sekadar deskripsi tindakan menjadi simbol pengkhianatan, penghancuran ikatan yang seharusnya menjadi inti kehidupan manusia.
Tindakan parisida tak hanya mengiris jantung keluarga, tetapi juga mengoyak tenun sosial yang paling mendasar. Di Roma kuno, istilah parricida menggambarkan pengkhianatan yang melampaui darah. Dalam hukum Romawi, pembunuh ayah diikat dalam karung bersama ular, anjing, dan ayam jantan, lalu dilemparkan ke laut. Hukuman yang tak hanya meniadakan tubuh, tetapi juga makna.
Sigmund Freud, sang tukang gali arkeologi jiwa manusia, punya teori tentang parricide. Dalam bukunya Totem and Taboo, ia menggambarkan sebuah drama purba: kelompok manusia yang dipimpin oleh seorang ayah yang dominan. Ayah ini—lebih raja daripada orang tua—memonopoli perempuan dan kekuasaan. Anak-anak lelaki, tertekan dan terhina, akhirnya memberontak dan membunuhnya. Tindakan ini, kata Freud, melahirkan dua hal: rasa bersalah dan peradaban. Dari pembunuhan, lahirlah hukum; dari dosa, lahirlah agama.
Freud tidak sendirian. Parricide menyelinap dalam sastra, menjadi metafora. Marcel Proust, dalam In Search of Lost Time, merangkai konflik ini dalam bahasa yang hampir mistis. Parricide dalam novel Proust bukanlah pembunuhan literal, tetapi simbol perjuangan seorang anak melawan bayangan otoritas orang tua. Dalam drama Cyrano de Bergerac, parricide mengambil bentuk lain. Ia menjadi pengkhianatan politik, sebuah kritik terhadap kekuasaan yang terpusat dan absolut. Dalam setiap kata, darah seorang ayah adalah tinta untuk menulis ulang sejarah.
Namun, apa yang terjadi di Barat hanyalah satu sisi koin. Di Jepang, di bawah bayang-bayang Confucianism, parricide mengambil wajah yang berbeda. Artikel Parricides in Japan menggambarkan tekanan yang datang dari sistem—struktur keluarga tradisional yang menempatkan ayah sebagai pusat gravitasi. Anak-anak, terjebak dalam ekspektasi bakti (filial piety), sering kali menemukan diri mereka terhimpit di antara kewajiban dan kebebasan. Dalam kasus-kasus ekstrem, tekanan ini meledak menjadi kekerasan. Di Uganda, menurut studi Parricide in Bugisu, pembunuhan ayah bahkan bisa menjadi ritual peralihan, sebuah simbol perubahan kekuasaan dari generasi tua ke generasi muda.
Dan di sini, dunia modern dengan segala kerumitannya ikut berbicara. Dalam The Criminal, the Judge, and the Public, Franz Alexander dan Hugo Staub membawa parricide ke ranah kriminologi. Mereka berbicara tentang trauma masa kecil, isolasi sosial, dan kehancuran mental sebagai faktor pemicu. Parricide, dalam sudut pandang ini, adalah jeritan terakhir dari jiwa yang terkepung. Namun, apa yang terungkap lebih dari sekadar patologi individu. Parricide adalah cermin. Ia memantulkan keretakan dalam keluarga, masyarakat, dan sistem yang melingkupinya.
Yang menarik, di balik semua analisis ini, ada kehampaan yang tak terjelaskan. Mengapa parricide, dengan segala kengeriannya, tetap memiliki tempat pada diri manusia? Mungkin karena ia mengguncang sesuatu yang mendalam: ketakutan, kebencian, atau mungkin dorongan yang paling purba untuk membunuh simbol otoritas demi menemukan kebebasan.
Namun, kebebasan apa yang lahir dari darah seorang ayah? Tidak ada kebebasan yang layak diperoleh dari darah seorang ayah ibu atau orang terdekat.
Nurhidayat | Jagakarsa, 4 Desember 2024