Kalawaca.com – Isu intoleransi seolah menjadi tajuk abadi di negeri ini. Penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah hingga ketengan antarumat beragama terus mengemuka. Terbaru, rencana pelaksanaan Jalsah Salanah, pertemuan tahunan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, mendapat penolakan dari pemerintah daerah.
Penjabat Bupati Kuningan, Agus Toyib, mengeluarkan surat resmi bernomor 200.1.4.3/4697/BKBP tertanggal 4 Desember 2024. Dalam surat itu, ia meminta kegiatan tersebut dihentikan dengan alasan menjaga ketertiban umum. Sikap ini langsung menuai kritik. Para pegiat hak asasi manusia menilai langkah pemerintah bertentangan dengan semangat konstitusi yang menjamin kebebasan beragama.
Di tengah kabar buruk itu, secercah upaya untuk merawat keberagaman muncul dari Kota Bogor. Pada 7 Desember 2024 lalu, Yayasan Cahaya Guru bersama Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama menggelar kegiatan bertajuk “Peace Walk: Be Peace from Your Walk”. Kegiatan ini mengusung tema “Beragam, Bukan Seragam” dan melibatkan 50 guru dari 30 sekolah di Jabodetabek.
Direktur Yayasan Cahaya Guru, Muhammad Mukhlisin, menjelaskan bahwa program ini bertujuan menanamkan nilai moderasi beragama di dunia pendidikan melalui guru sebagai agen perubahan. “Guru adalah ujung tombak pembentukan generasi yang memahami dan menghargai keberagaman,” ujarnya Sabtu, (7/12/2024)..
Pemilihan Kota Bogor sebagai lokasi kegiatan bukan tanpa alasan. Kota ini memikul sejarah panjang sebagai simbol toleransi sekaligus tantangan. Salah satunya adalah polemik pembangunan Gereja Kristen Indonesia Yasmin, yang sempat menjadi isu nasional.
Namun, Bogor terus berbenah. Filosofi lokal Tepas Salapan Lawang Dasakerta, sembilan nilai luhur yang menonjolkan persahabatan dan perdamaian, menjadi landasan penting bagi kota ini dalam merawat keberagaman. “Bogor telah belajar dari masa lalu dan berkomitmen menjadikan keberagaman sebagai kekuatan,” kata Mukhlisin.
Jelajah Harmoni Lewat Rumah Ibadah
Peace Walk membawa peserta mengunjungi empat rumah ibadah di Kota Bogor. Perjalanan dimulai di GPIB Zebaoth, gereja Protestan yang dikenal sebagai “Gereja Ayam” karena bentuk arsitekturnya. Dibangun pada masa kolonial, gereja ini menjadi tempat ibadah sekaligus ruang sosial bagi masyarakat.
Dari sana, rombongan bergerak ke BMV Katedral Bogor, gereja Katolik bergaya neo-gotik. Di tempat ini, para peserta mendengar cerita tentang keterbukaan gereja terhadap berbagai dialog lintas agama. “Katedral ini sering menjadi tempat pertemuan lintas iman dan kegiatan sosial yang melibatkan semua kalangan,” ujar Nicolaus Laga, perwakilan dari gereja tersebut.
Perjalanan berlanjut ke Kelenteng Phan Co Bio, rumah ibadah umat Konghucu yang berdiri sejak abad ke-19. Suasana sakral tampak dari hiasan lampion dan aroma dupa yang menyambut peserta. “Ritual kami menekankan harmoni antara manusia dan alam,” ujar Candra Kusuma, salah satu pengurus kelenteng.
Kunjungan terakhir dilakukan di Vihara Danagun, tempat peserta belajar tentang prinsip keseimbangan hidup dan perdamaian. Kepala Vihara, Leni, menjelaskan bahwa vihara ini selalu terbuka untuk masyarakat lintas agama. “Setiap Ramadan, kami mengadakan buka puasa bersama dengan lebih dari 400 anak yatim piatu dari berbagai latar belakang,” ungkapnya.
Kegiatan ini memberikan pengalaman mendalam bagi para peserta, tidak hanya sebagai perwakilan dari lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai individu. Bu Astri, Kepala Sekolah SDN Lewinangung 2 Depok, mengungkapkan bahwa momen ini memberinya banyak pelajaran, terutama ketika ia mengenang pengalaman masa lalu. Salah satu muridnya yang beragama Konghucu pernah menjadi korban perundungan karena keyakinannya yang berbeda. Situasi ini begitu membekas di hati Bu Astri, terlebih saat ia menyaksikan anak tersebut terpaksa pindah sekolah untuk menghindari perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman-temannya.
“Pengalaman itu menjadi motivasi saya untuk memastikan bahwa sekolah harus menjafi ruang aman bagi semua murid, tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaan mereka. Sebagai guru, saya punya tanggung jawab besar untuk menciptakan generasi yang tidak hanya paham pentingnya keberagaman, tetapi juga mampu merayakannya sebagai bagian dari identitas bangsa. Karena itu kegiatan seperti ini penting” ujarnya.
Komar, seorang guru dari SMA Al-Izhar Pondok Labu, juga berbagi perspektifnya. Ia menganggap Peace Walk sebagai pengalaman yang mampu membuka wawasan lebih luas bagi para guru seperti dirinya. “Peace Walk menjadi momen bagi guru-guru untuk bertemu langsung dengan sang liyan dan sebagai bentuk upaya merajut kebinekaan yang menjadi basis kehidupan berbangsa dan bernegara” ungkapnya.
Komitmen Membangun Generasi Toleran
Kegiatan yang berlangsung dari pagi hingga sore ini tidak hanya melibatkan guru. Peace Walk juga melibatkan komunitas lokal. Arif, founder komunitas Rambah Kota yang juga sebagai pemandu jalannya kegiatan memandang acara ini sebagai wujud nyata dari pengamalan nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, kegiatan seperti ini sangat penting karena menambah wawasan dari sejarah. “Karena dari sejarah, kita bisa belajar tentang keberagaman,” tuturnya.
Dari sudut pandang komunitas agama, Varcel, perwakilan dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) menyatakan rasa senangnya terhadap kegiatan Peace Walk. Menurutnya, acara ini tidak hanya membahas aspek-aspek permukaan dari setiap agama, tetapi juga mengupas secara mendalam nilai-nilai yang ada dalam masing-masing kepercayaan. “Tadinya saya pikir kegiatan ini hanya menggali tentang agama-agama secara mendasar saja. Ternyata, dari kegiatan ini saya mendapat perspektif yang jauh lebih mendalam,” ungkapnya.
Varcel juga menekankan pentingnya melibatkan anak muda dalam acara semacam ini. “Coba aja, acaranya seru, ketemu banyak orang, jalan-jalan, sekaligus bikin sehat, terutama buat anak-anak Gen Z,” katanya, sembari mengapresiasi format acara yang interaktif dan tidak membosankan. Ia berharap generasi muda bisa lebih sering terlibat dalam kegiatan yang mengangkat tema keragaman, karena selain menambah wawasan, acara ini juga mengajarkan cara hidup berdampingan dengan perbedaan secara damai.
Dengan pengalaman-pengalaman tersebut, Peace Walk menjadi lebih dari sekadar sebuah perjalanan. Ia menjelma menjadi ruang refleksi dan pembelajaran bagi peserta. Dari pengalaman ini, terlihat bagaimana pendidikan inklusif dan kolaborasi lintas komunitas dapat menjadi kunci untuk membangun generasi yang mampu menghormati keberagaman dan mempraktikkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan ini ditutup dengan pembacaan Deklarasi Guru Keberagaman, yang menyatakan komitmen untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi di sekolah masing-masing. Deklarasi itu berbunyi:
Kami, Guru Keberagaman Bogor, berikrar untuk:
- Menghormati keberagaman sebagai kekuatan bangsa.
- Mengupayakan pendidikan yang inklusif dan ramah untuk semua.
- Menanamkan nilai toleransi, persatuan, dan cinta tanah air.
- Melindungi hak setiap anak untuk belajar tanpa diskriminasi.
- Menjadi teladan dalam menghargai perbedaan.
- Menguatkan semangat kebangsaan, keragaman, dan kemanusiaan untuk kemajuan Indonesia.
Bogor, 7 Desember 2024
Bagi para peserta, deklarasi ini lebih dari sekadar simbol. Itu adalah janji nyata untuk menciptakan generasi masa depan yang menghargai keberagaman sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. “Keberagaman adalah aset terbesar Indonesia. Ini tanggung jawab kita untuk merawatnya,” pungkas Bu Astri.