Tak mungkin seorang manusia mampu menulis selugas dan sejernih yang ia mampu tanpa didasari oleh pengalaman, pengetahuan, dan kejernihan pikiran. Buku Sekolah Merdeka yang ditulis Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ini menandai kejernihan, kebijaksanaan, sekaligus sikap kritis akan keadaan.
Di buku ini Romo Mangun, panggilan akrabnya, menemukan titik-titik krusial pendidikan secara menyeluruh. Ia mencoba menemukan apa hakikatnya sekolah, siapa guru atau subyek pendidikan, dan siapa itu murid.
Atas pertanyaan itu ia membuat lima catatan pokok. Di antaranya, sekolah pada hakikatnya adalah seluruh masyarakat. Dalam aturan, katanya, konsep ini disebut jalur formal, non fornal dan informal. Konsep terakhir contohnya adalah yang kita jalani dalam keluarga, lingkungan RT/RW dan khalayak ramai.
Sayangnya, perkembangan pasca tradisi feodalisme dan kolonialisme justru memperlihatkan selolah formal dinilai satu-satunya yang menentukan. Padahal menurut tokoh Katolik ini kemajuann di negara-negara maju berbasis pada dunia nonformal dan infomal. Pendidikan formal malah bersifat sekunder.
Sebagai manusia yang mendampingi akar rumput ditambah pengalamannya sebagai sastrawan, ia piawai menggambarkan kalimat-kalimat yang bersinar. Misalnya, penggambaran ini; komersialisasi pendidikan yang merugikan, baik yang diuntungkan “secara semu” dan yang dirugikan secara nyata.
Ia mengajukan istilah semua orang adalah guru dan semua prang adalah muridku pula. Dikutipnya pula istilah dalam bahasa latin, muta sed non multum, banyak sekali yang diketahui, tapi sedikit yang dipahami. Dan ia menegaskan pula bahwa pendidikan adalah kekuasaan.
Depok-Cikini, 13 Februari 2025
Alamsyah M Djafar