Jakarta – Pemerintah kembali mengumumkan rencana ambisius, tetapi apakah siap direalisasikan? Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) RI, Abdul Mu’ti, mengungkapkan bahwa Sekolah Rakyat membutuhkan 60 ribu guru. Namun, belum ada kejelasan mengenai bagaimana rekrutmen ini akan dilakukan dan bagaimana kualitas pengajaran akan dijamin.
“Tadi disampaikan 60 ribu guru kebutuhannya. Nanti mendistribusikan guru yang sudah ada atau rekrutmen baru, nanti masih proses yang panjang,” ujar Abdul Mu’ti kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin, 10 Maret 2025.
Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan dua skema kurikulum untuk Sekolah Rakyat. Kurikulum pertama adalah “Sekolah Unggul” yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, sementara kurikulum kedua adalah Kurikulum Merdeka yang sudah diterapkan di sekolah-sekolah saat ini.
“Kalau Sekolah Unggul kan standar internasional kan, yang Sekolah Unggul Garuda itu. Tapi kalau kurikulum kami ya sama dengan yang berlaku di Indonesia saat ini,” tegas Abdul Mu’ti. Namun, banyak pihak mempertanyakan kesiapan infrastruktur serta tenaga pengajar untuk mendukung standar internasional tersebut.
JANJI GRATIS 100%?
Sementara itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan bahwa Sekolah Rakyat yang digagas Presiden Prabowo Subianto akan mulai beroperasi pada Juli 2025 dan menjanjikan pendidikan gratis sepenuhnya. Namun, masih belum jelas bagaimana pendanaan jangka panjangnya akan berkelanjutan.
“Ya jelas, kalau gratis pasti. Sekolah gratis 100 persen. Seragam-seragamnya, terus kemudian itu semua,” tegas Gus Ipul.
Namun, apakah sekolah ini benar-benar dapat mengakomodasi siswa dari kelompok ekonomi terbawah secara efektif? Pendaftaran diperkirakan akan dibuka dalam tiga bulan ke depan, sementara seleksi baru mulai dimatangkan.
“Diharapkan ya akhir bulan ini atau bulan depan sudah dimulai. Tapi sekarang kita sedang matangkan timnya,” tambahnya.
Proses seleksi calon siswa akan menggunakan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSN), namun tetap harus menjalani tes akademik. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah sistem seleksi ini benar-benar inklusif atau justru akan menjadi penghalang bagi anak-anak dari kelompok miskin?
“Yang pertama tentu yang berada di Desil 1-2. Dari DTSN yang terbaru itu. Nah dari situ nanti kemudian ada tes akademik lanjutan setelah mereka berada di Desil itu,” jelasnya.
Pemerintah memang menjanjikan perubahan, tetapi apakah kebijakan ini akan berjalan sesuai harapan atau hanya sekadar proyek mercusuar tanpa eksekusi matang? Kita tunggu realisasinya!