Beranda Warta Ahmad Suaedy: Perubahan Iklim, Warisan Kolonialisme, dan Kesenjangan Ekonomi

Ahmad Suaedy: Perubahan Iklim, Warisan Kolonialisme, dan Kesenjangan Ekonomi

Kalawaca.com – Pembina Yayasan Inklusif Ahmad Suaedy menyampaikan, perubahan iklim bukanlah fenomena yang hanya bisa dilihat dalam lima atau sepuluh tahun ke depan, melainkan hasil dari proses panjang yang telah berlangsung selama berabad-abad sebelumnya.

Hal ini disampaikan olehnya dalam diskusi publik “Lingkungan Tanpa Diskriminasi: Memastikan Akses dan Partisipasi Inklusif dalam Iklim”, yang digelar di Kantor Desantara, Depok, Senin (17/3/2025).

Menurut Suaedy, perubahan iklim memiliki akar sejarah yang panjang, berawal dari industrialisasi dan kolonialisme sejak beberapa abad yang lalu. Tidak hanya mengeksploitasi alam, Kolonialisme juga mengubah cara pandang masyarakat Nusantara terhadap lingkungan dan kehidupan sosialnya.

“Kolonialisme mengubah perilaku, visi, dan filosofi masyarakat menjadi kapitalis. Dulu, hutan, pantai, laut, dan sungai adalah milik bersama,” paparnya.

Namun, kedatangan bangsa Barat membawa filosofi baru yang mendorong privatisasi sumber daya. Kata Suaedy, para raja dan sultan dipaksa untuk bekerja sama dalam sistem ekonomi kolonial yang akhirnya mengubah Nusantara menjadi pusat eksploitasi sumber daya alam melalui sistem tanam paksa.

“Dengan masuknya Barat, bangsa Nusantara dijadikan pekerja. Mereka tidak boleh melaut, tetapi dipaksa menanam dan mengurus hasil bumi yang kemudian diambil oleh bangsa kolonial. Menurut saya, ini adalah akar histori kerusakan lingkungan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Suaedy menyatakan ironi terhadal negara-negara Barat yang dahulu menjadi pelaku eksploitasi. Namun kini justru menjadi yang paling vokal dalam isu pelestarian lingkungan, sementara negara-negara Timur digaungkan dalam praktik eksploitasi.

Namun, ia mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak dalam dikotomi Barat dan Timur, melainkan memahami akar epistemologi yang tepat dalam melihat isu lingkungan. Ia juga menyoroti bagaimana perubahan iklim juga berkaitan erat dengan kesenjangan ekonomi global.

“Saat ini, 40 persen dari kekayaan dunia dikuasai oleh segelintir orang terkaya. Meskipun kemiskinan di Indonesia sudah berkurang dalam beberapa aspek, sangat sulit menangani perubahan iklim tanpa mengatasi kesenjangan ekonomi dan mengimbanginya dengan ilmu pengetahuan,” ujarnya.

Menurutnya, dalam memahami isu lingkungan, masyarakat harus memiliki kesadaran kritis dan tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan tanpa melihat berbagai perspektif. “Baik pro-lingkungan maupun yang mendukung industri tambang, keduanya memiliki argumen,” ujarnya.

“Kita perlu kembali ke sejarah, misalnya mengapa tambang boleh diberikan kepada ormas agama? Karena selama ini sumber daya hanya dikuasai oleh segelintir individu yang berpikir kapitalistik,” imbuhnya.

Untuk memantik kesadaran masyarakat akan kepedulian perubahan iklim. Sebagai contoh, Suaedy mengangkat kearifan lokal masyarakat Baduy yang memiliki sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

“Masyarakat Baduy memiliki aturan ketat dalam pemanfaatan lahan. Tanah yang mereka tempati hanya 20 persen, tanah yang boleh ditanami juga hanya 20 persen,” terang Suaedy.

Suaedy menegaskan bahwa perubahan dan kerusakan lingkungan memiliki sejarah panjang yang tidak bisa dipisahkan dari aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, isu perubahan iklim harus menjadi diskusi bersama yang diikuti dengan aksi nyata untuk menciptakan solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

“Dari masyarakat Baduy, ini adalah bentuk pengetahuan lokal yang luar biasa dan bisa menjadi inspirasi dalam menjaga keseimbangan ekosistem,” pungkasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini