Kalawaca.com – Persoalan lingkungan tidak bisa hanya berhenti pada retorika dan dalil agama tanpa aksi nyata. Pegiat dan Aktifis Lingkungan Ahsan Jamet Hamidi, menegaskan bahwa tantangan lingkungan saat ini membutuhkan solusi konkret, bukan sekadar teori atau pembahasan teologis.
“Kita seringkali menghadirkan ketuhanan dalam perdebatan lingkungan, tetapi sulit menghadirkannya dalam tindakan konkret. Saatnya berhenti hanya berbicara dan mulai bertindak,” ujarnya dalam diskusi publik ‘Lingkungan Tanpa Diskriminasi: Memastikan Akses dan Partisipasi Inklusif dalam Iklim’ di Kantor Desantara, Depok, Senin (17/3/2025).
Menurut dia, ada sejumlah masalah lingkungan yang saat ini menjadi perhatian utama, salah satunya adalah kebijakan Program Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.
Salah satu proyek dalam PSN adalah pengembangan food estate atau lumbung pangan yang dinilai berpotensi merusak lingkungan. “Begitu Pak Prabowo menjadi presiden, program strategis nasional ditetapkan, salah satunya, membuka lahan food estate dengan membabat hutan dan menggantinya dengan tanaman padi,” paparnya.
“Ada 600 ribu hektare hutan yang ditebang untuk proyek ini. Ini adalah salah satu tantangan besar dalam perlindungan lingkungan,” imbuh pria yang akrab disapa Bang Jamet.
Selain itu, ia menyoroti aktivitas pertambangan yang masih minim perhatian terhadap dampak lingkungan, serta industri yang sering kali mengabaikan aspek keberlanjutan. Ia juga menyinggung kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan yang semakin meningkat, termasuk kasus 12 nelayan di Bangka yang diproses hukum karena menolak eksploitasi pasir laut.
“Aktivis lingkungan saat ini harus bersiap menghadapi kriminalisasi. Di Bangka, ada 12 nelayan yang dipidanakan hanya karena menolak eksploitasi pasir laut. Ini menunjukkan betapa lingkungan sering dianaktirikan dalam kebijakan negara,” ungkapnya.
Kemudian, persoalan hukum lingkungan juga menjadi sorotan. Ia mencontohkan kasus di Meulaboh, di mana sebuah perusahaan pembakar hutan akhirnya digugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan dijatuhi hukuman. Namun, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku perusakan lingkungan masih minim.
“Bagaimana kabarnya dengan kasus tersebut? Sampai hari ini tidak ada penegakan hukum yang tegas, itu yang menggugat Kementerian, apa kabar jika kita yang menggugat?,” tegasnya.
Menurut Bang Jamet, kerusakan lingkungan bukan disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat, tetapi oleh keserakahan industri dan ketidakseimbangan kebijakan negara dalam melindungi lingkungan.
“Bumi ini rusak bukan karena manusia biasa, tetapi karena industri yang mengusung paham kapitalisme. Ketidakseimbangan negara dalam melindungi lingkungan semakin memperparah keadaan,” tegasnya.
Untuk itu, ia mengajak semua pihak untuk mengambil langkah nyata, baik dimulai dari diri sendiri maupun melalui aksi kolektif dalam skala yang lebih luas.
“Akar masalah sudah jelas, kita hanya punya dua pilihan: memulai dari diri sendiri dan melakukan perubahan dari hal-hal kecil, atau tetap berdiam diri dalam retorika tanpa aksi nyata,” pungkasnya.