Di tengah derasnya arus perjuangan kemerdekaan dan kebangkitan nasional, Banten memiliki sosok perempuan luar biasa yang namanya tercatat dalam sejarah. Ia bernama Maria Ulfah Santoso. Lahir dari keluarga terpandang, ia lahir di Serang, Banten, pada 18 Agustus 1911, ia tumbuh dalam keluarga terpandang.
Ayahnya, Raden Adipati Aria Mochammad Achmad, adalah Bupati Kuningan, sementara ibunya, Raden Ayu Chadidjah Djajadiningrat, berasal dari keluarga bangsawan yang juga bersaudara dengan tokoh penting, Hoesein dan Achmad Djajadiningrat.
Sejak kecil, Maria Ulfah sudah menunjukkan ketertarikan pada dunia pendidikan. Ia memulai sekolah dasar di Cikini, lalu melanjutkan ke SD Willemslam. Pendidikan menengah ia tempuh di Koning Willem III School pada 1924.
Pencapaiannya tak berhenti di situ—Maria menembus batas zamannya dengan melanjutkan studi hukum di Universitas Leiden, Belanda, pada 1929. Ia berhasil menyandang gelar sarjana hukum pada 1933, menjadikannya perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar tersebut di era Hindia Belanda.
Sepulang dari Belanda, Maria sempat bekerja di kantor Kabupaten Cirebon. Namun semangatnya untuk mengabdi pada masyarakat membawanya ke dunia pendidikan, di mana ia mengajar bahasa Jerman dan Ketatanegaraan di sekolah Muhammadiyah Batavia. Di sinilah kiprahnya dalam pergerakan perempuan dan nasionalisme mulai mencuat.
Maria percaya bahwa perempuan bukan hanya pendamping, tetapi juga tiang penyangga bangsa. Ia aktif dalam Kongres Perempuan Indonesia dan menyuarakan pentingnya kesetaraan akses pendidikan bagi perempuan.
Salah satu gagasannya yang berpengaruh adalah peningkatan jumlah sekolah untuk anak perempuan, demi memberi mereka peluang yang setara dengan laki-laki di ruang publik.
Keberanian dan kecerdasannya membuat Maria dipercaya untuk duduk sebagai calon anggota Volksraad—lembaga legislatif Hindia Belanda—dan turut serta dalam BPUPKI bersama para pendiri bangsa.
Pada masa setelah kemerdekaan, ia dipercaya menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir II pada tahun 1946, sekaligus menjadi perempuan pertama yang menduduki posisi menteri di Indonesia. Di bawah kepemimpinannya, lahirlah kantor urusan buruh, yang kelak menjadi cikal bakal Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
Tak hanya itu, Maria Ulfah juga memimpin berbagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan, di antaranya sebagai Ketua Kowani (Kongres Wanita Indonesia) pada 1950, Ketua Badan Perlindungan Perempuan dalam Perkawinan, serta pelopor peraturan yang membantu janda dan anak yatim dari pegawai sipil.
Salah satu kontribusi penting lainnya adalah usulannya pada tahun 1959 agar tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu secara nasional—sebuah pengakuan simbolis atas peran besar perempuan dalam pembangunan bangsa.
Kisah hidup Maria Ulfah Santoso menjadi bukti nyata bahwa perempuan memiliki tempat yang sama pentingnya dalam sejarah perjuangan dan pembangunan bangsa.
Ia membuka jalan, membuktikan bahwa tekad, ilmu, dan semangat tidak mengenal jenis kelamin. Dari tanah Banten, lahirlah seorang ibu bangsa yang membawa cahaya bagi generasi perempuan Indonesia.
Semoga semangat Maria Ulfah terus menyala dalam diri perempuan Banten masa kini dan mendatang dan melahirkan sosok-sosok hebat yang berkontribusi bagi kemajuan bangsa di segala bidang.