Beranda Opini Mengapa Intoleransi, Diskriminasi, dan Kekerasan atas Nama Agama Dilarang?

Mengapa Intoleransi, Diskriminasi, dan Kekerasan atas Nama Agama Dilarang?

Oleh Ahmad Nurcholish

Di antara prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) yang berkaitan dengan perlindungan umat beragama adalah larangan atas tindakan intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap seseorang atau kelompok atas nama agama atau keyakinan.

Selain ditegaskan dalam berbagai instrumen HAM internasional, prinsip ini juga secara jelas dirumuskan oleh komunitas global dalam Resolusi Dewan HAM PBB No. A/HRC/16/18, yang kemudian dikenal sebagai Resolusi 16/18 tentang “Melawan intoleransi, stereotip negatif, pemberian stigma, diskriminasi, hasutan terhadap kekerasan, dan tindakan kekerasan terhadap perseorangan atas dasar agama atau kepercayaan.”

Hal ini dipaparkan dalam Buku Pedoman Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Hak Beragama atau Berkeyakinan, yang disusun dan diterbitkan atas kerja sama Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM RI, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI, Human Rights Working Group (HRWG), dan The Asia Foundation (2015).

Dalam buku tersebut (hlm. 18–19) dijelaskan bahwa Resolusi 16/18 dipandang sebagai jalan tengah di antara berbagai blok aliran dan agama di dunia, terutama antara kelompok-kelompok agama dan kelompok-kelompok HAM yang sama-sama menekankan pentingnya jaminan hak kebebasan berekspresi dan berkeyakinan.

Bahkan, dalam proses perumusannya, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah berperan penting dalam mengomunikasikan pandangan antara negara-negara Barat dan negara-negara Muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), sehingga resolusi ini dapat disepakati secara konsensus.

Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, resolusi ini menjadi penting untuk dijadikan rujukan dalam mengelola kehidupan beragama dan berkeyakinan, khususnya dalam membangun masyarakat yang toleran, harmonis, dan saling menghormati hak kebebasan beragama masing-masing.

Dalam hal ini, ditegaskan dalam buku tersebut bahwa negara (baca: pemerintah) memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan langkah-langkah guna menjamin perlindungan hukum yang setara dan efektif. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, akal, dan agama atau kepercayaan, termasuk kebebasan untuk memiliki atau menjalankan agama atau kepercayaan yang diyakininya.

Tak dapat dipungkiri bahwa intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia telah menjadi perhatian serius komunitas internasional. Setiap negara memiliki persoalan tersendiri dalam isu ini, sehingga komunitas global berupaya membangun kerangka bersama untuk mengatasi kekerasan atas dasar agama, yang menyasar rumah, tempat usaha, properti, sekolah, pusat kebudayaan, hingga tempat ibadah.

Hal itu juga mencakup tindakan-tindakan yang secara sengaja mengeksploitasi kekerasan dan menyerang individu atas nama agama, termasuk kasus-kasus yang dimotivasi oleh diskriminasi terhadap penganut agama minoritas serta stereotip negatif terhadap pemeluk agama tertentu.

Di sisi lain, berbagai agama dan kepercayaan telah memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman atas nilai-nilai dasar kemanusiaan melalui dialog antar kelompok agama.

Melalui Resolusi 16/18, komunitas internasional menyatakan keprihatinan mendalam atas berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang mencederai hubungan antaragama dan semangat toleransi.

Oleh karena itu, dalam buku pedoman tersebut (hlm. 19) juga direkomendasikan kepada Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Mengambil langkah efektif untuk memastikan bahwa pejabat negara tidak melakukan diskriminasi terhadap individu atau kelompok agama/keyakinan tertentu.
  2. Mengembangkan kebebasan beragama dan pluralisme, dengan mendorong seluruh anggota komunitas untuk dapat memanifestasikan keyakinan mereka secara positif dan berkontribusi secara terbuka di masyarakat.
  3. Mendorong partisipasi yang berarti dari semua warga, terlepas dari agamanya, di seluruh sektor kehidupan masyarakat.
  4. Mengadopsi kebijakan yang menjamin perlindungan terhadap tempat ibadah, situs keagamaan, makam, dan kuil, serta menangani kasus vandalisme dan perusakan yang mengancam tempat-tempat tersebut.
  5. Memperkuat dialog global guna mendorong toleransi budaya dan perdamaian di semua tingkatan, dengan menjunjung tinggi HAM dan keberagaman agama/kepercayaan, termasuk menyelenggarakan diskusi panel pada sesi ke-17 menggunakan sumber daya yang tersedia.

Kelima catatan tersebut seyogianya menjadi perhatian penting bagi pemerintah agar kehidupan yang harmonis dalam kebinekaan dapat selalu terjaga, dan proses menuju perdamaian tidak harus menunggu terlalu lama.

Ahmad Nurcholish,
Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania, Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini