Beranda Opini Menulis Membuat Anda Bahagia

Menulis Membuat Anda Bahagia

Ilustrasi Ahmad Nurcholish menulis. Diolah menggunakan AI
Ilustrasi Ahmad Nurcholish menulis. Diolah menggunakan AI

Oleh Ahmad Nurcholish

“Teruslah mencerahkan, Pak. Saya selalu membaca tulisan-tulisan Bapak.”
“Cak, terima kasih buku barunya, Pendidikan Perdamaian Gus Dur. Buku ini memahamkan saya betapa pentingnya perdamaian itu.”

Itulah di antara komentar yang disampaikan kepada saya melalui akun media sosial atas tulisan-tulisan dan buku yang sudah terbit. Tentu saya senang mendapatkan respons positif dari teman-teman pembaca. Respons itulah yang juga memotivasi saya untuk terus menulis. Lebih dari itu, saya juga merasakan kebahagiaan jika tulisan dan buku tersebut memberikan banyak arti bagi pembacanya.

Ya, menulis bisa membuat kita bahagia. Kok bisa? Setidaknya ada empat alasan mengapa menulis bisa membuat kita bahagia.

Pertama, menulis adalah medium untuk menyampaikan gagasan. Melalui tulisan, berarti kita telah menyampaikan ide atau gagasan kepada khalayak umum yang tak terbatas. Gagasan yang semula hanya mengendap di benak kita, atau mungkin hanya disampaikan kepada teman, kolega, atau sahabat terdekat, bisa tersebar lebih luas melalui tulisan.

Dengan begitu, gagasan yang kita miliki mempunyai kesempatan untuk diketahui banyak orang. Dampak selanjutnya, bukan tidak mungkin gagasan tersebut menginspirasi, mencerahkan, dan menggugah orang lain untuk melakukan sesuatu yang positif dan bermakna. Betapa senang dan bahagianya kita jika tulisan kita bisa berdampak seperti itu.

Kedua, menulis membuka ruang untuk mendapatkan umpan balik (kritik, masukan, saran, dan sebagainya) dari pembaca. Apa yang kita tuangkan dalam tulisan belum tentu disetujui atau disukai oleh semua orang. Di antara mereka tentu ada yang tidak setuju, bahkan menolak gagasan kita.

Pembaca yang baik biasanya akan memberikan respons atau umpan balik yang membangun, baik secara langsung maupun melalui media sosial tempat kita membagikan tulisan. Umpan balik ini akan memperkaya kita dalam menulis karya-karya selanjutnya, sekaligus menunjukkan bahwa tulisan kita mendapat perhatian. Bukankah itu membahagiakan? Artinya, tulisan kita tidak sia-sia, dan kita pun terdorong untuk terus memperbaiki diri.

Ketiga, menulis itu menyehatkan. Masak, sih? Ya, dengan menulis, otak kita bekerja—mengingat kembali pengetahuan yang kita miliki dan memilih mana yang relevan untuk dituangkan dalam tulisan. Proses ini menyehatkan jiwa dan raga.

Menulis juga melibatkan gerakan fisik—setidaknya jari, tangan, dan mata. Jadi, menulis adalah olahraga bagi jiwa dan raga. Jika keduanya sehat, bukankah itu akan berpengaruh pada kebahagiaan kita? Sebab, salah satu hal paling berharga dalam hidup adalah kesehatan. Tanpa kesehatan, sulit rasanya untuk merasa bahagia.

Keempat, menulis mendatangkan rezeki. Rezeki di sini bukan hanya berupa uang, tetapi juga relasi, kemitraan, bahkan personal branding. Dari artikel yang diterbitkan media massa (koran, majalah, atau jurnal), kita bisa memperoleh honor, mulai dari Rp250.000 hingga Rp2.000.000, tergantung kebijakan masing-masing media. Hitung saja bila dalam sebulan Anda menulis empat artikel.

Menulis buku pun demikian. Dari buku yang terbit, Anda akan memperoleh royalti. Semakin banyak eksemplar yang terjual, semakin besar pula royalti yang Anda terima. Banyak penulis menjadi kaya karena buku mereka menjadi best seller. Bahkan, ada buku yang diadaptasi menjadi film, yang tentu kembali menghasilkan rezeki.

Namun sekali lagi, rezeki dari menulis bukan sekadar uang. Bisa juga berupa jaringan relasi. Orang-orang yang sebelumnya tidak mengenal kita, melalui tulisan jadi tahu siapa kita. Dari situlah hubungan terjalin, kerja sama terbangun. Bukankah itu menyenangkan?

Tulisan juga memperkuat personal branding Anda. Kita ingin dikenal sebagai apa, atau orang seperti apa? Lewat tulisan, kita bisa membangun dan mengelola citra tersebut, baik untuk diri sendiri maupun lembaga yang kita kelola. Jika itu berhasil, apakah Anda tidak bahagia?

Maka, tak perlu menunda lagi. Kalau orang lain bisa menulis, mengapa Anda tidak? Kalau Anda bisa memulainya sekarang, mengapa harus ditunda?

Ahmad Nurcholish
Kolumnis dan penulis. Tinggal di pinggiran Jakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini