Beranda Opini Islam dan Ajaran Perdamaian

Islam dan Ajaran Perdamaian

Photo by Haythem Gataa on Unsplash
Photo by Haythem Gataa on Unsplash

Oleh Ahmad Nurcholish

Ketika terjadi pengrusakan atau pembakaran gereja, umat Islam selalu menjadi tertuduh. Memang tidak sepenuhnya salah. Sebab, dan ini ironi,  tindakan tersebut diyakini oleh para pelakunya sebagai bagian dari apa yang disebut amar ma’ruf nahi munkar, implementasi dari berbuat baik dalam mencegah kemungkaran. Keberadaan rumah ibadah umat lain kerap dianggap sebagai ancaman bagi umat Islam.

Pertanyaannya, benarkah Islam mengajarkan demikian? Dapatkah dibenarkan ketika umat agama lain berupaya mendirikan rumah ibadah lalu umat Islam berusaha untuk mencegah dan mengenyahkannya? Lalu di mana ajaran toleransi serta kontribusi Islam terhadap upaya mewujudkan perdamaian? 

Islam sejatinya tidak mengajarkan tindakan kekerasan. Bahwa ada perintah perang, hal itu sebagai upaya untuk melakukan pertahanan diri ketika diserang lebih dulu. Dalam perang pun memiliki sejumlah aturan sebagai etika dalam peperangan. Di antaranya adalah tidak boleh menebang pohon atau merusak lingkungan, tidak boleh melukai anak-anak, perempuan dan lansia, juga tidak boleh merusak rumah ibadah yang dimiliki oleh pihak lawan.

Dari penjelasan tersebut Islam dapat dikatakan sebagai agama perdamaian. Ada sejumlah alasan untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian. Pertama, Islam itu sendiri berarti kepatuhan diri (submission) kepada Tuhan dan perdamaian (peace). Kedua, salah satu dari nama Tuhan dalam al-asma` al-husna adalah Yang Maha Damai (al-salam). Ketiga, perdamaian dan kasih-sayang merupakan keteladanan yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. 

Bahkan,  sebagai dikatakan Zuhairi Misrawi,  bahwa perdamaian merupakan jantung dan denyut nadi dari agama. Menolak perdamaian merupakan sikap yang bisa dikategorikan sebagai menolak esensi agama dan kemanusiaan. (Al-Quran Kitab Toleransi, 2010: 329).

Dengan demikian, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau kekerasan di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukkan bahwa Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan  kedamaian. Di antara bukti konkrit dari perhatian Islam terhadap perdamaian adalah dengan dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah al-madinah), perjanjian Hudaibiyah, dan pakta perjanjian yang lain.

Pada tataran ontologis, agama manapun pada hakikatnya tidak mengajarkan kekerasan, dan kekerasan itu sendiri bukan bagian integral dari agama. Agama mengajarkan sikap cinta-kasih dan keharmonisan dalam hidup.  Agama memprioritaskan cara-cara damai dan kemanusiaan dalam bersikap sebagaimana diamanatkan oleh nilai-nilai universal agama itu sendiri. 

Nilai-nilai Perdamaian dalam Islam

Pun dengan Islam, misalnya, merupakan penegasian atas sikap kekerasan. Islam, di satu sisi, berarti kepatuhan/ketundukan diri (submission) kepada kehendak Tuhan dan pada sisi lain, mewujudkan perdamaian. Dengan demikian, Islam berarti menciptakan perdamaian sedangkan Muslim berarti orang yang menciptakan perdamaian melalui aksi dan perbuatannya. 

Begitu pula keimanan yang merupakan wujud dari sebuah keyakinan pada Tuhan yang nantinya juga akan berdampak secara sosial berupa pemberian rasa aman dan nyaman bagi orang lain. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah berkata:

“Muslim sejati ialah muslim yang dapat memberikan keselamatan bagi orang lain dari lisan dan tangannya, dan mukmin sejati ialah mukmin yang bisa memberi rasa aman pada yang lain atas jiwa dan harta mereka”.

Nilai-nilai perdamaian pada hakikatnya banyak termaktub dalam al-Qur’an dan juga secara jelas diindikasikan dalam berbagai riwayat hadis Nabi. Tidak ada satu ayatpun dalam al-Qur’an, dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan semangat kebencian, permusuhan, pertentangan, atau segala bentuk perilaku negatif dan represif yang mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. (BMR, 2010: 481).

Al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah SAW diutus oleh Allah untuk menebarkan kasih sayang: “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Q.S. Al-Anbiya: 10). 

Dalam hal ini, Zuhairi Misrawi menyatakan bahwa ada dua hal utama yang perlu diketahui dari ayat tersebut. Pertama, makna rahmatan. Secara linguistik, rahmatun berarti kelembutan dan kepedulian (al-riqqah wa al-ta’aththuf). Kedua, makna lil alamin. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa cinta kasih Rasulullah saw. hanya untuk orang muslim saja. Tapi ulama lain berpendapat bahwa cinta kasih Rasulullah saw untuk semua umat manusia. Hal ini mengacu pada ayat terdahulu yang menyatakan bahwa Rasulullah saw diutus untuk seluruh umat manusia (kaffatan li an-nas). (ZM, 2010: 215-216). 

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan pula bahwa,  “sesungguhnya saya tidak diutus sebagai pemberi laknat, tapi saya diutus untuk memberi  rahmat”. 

Terkait dengan dengan prinsip tersebut, Jawdat Sa’id menegaskan bahwa prinsip-prinsip nirkekerasan  dan perdamaian serta hubungannya dengan ajaran Islam telah mengakar lama sejak zaman putra Adam, Qabil dan Habil. Al-Qur’an merekam kisah Qabil dan Habil sebagaimana berikut:

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (Q.S. al-Ma`idah: 27-31)

Menurut Jawdat Sa’id, kisah Qabil dan Habil itu memberi makna yang dalam. Pertama, ada aspek kepasrahan total kepada Tuhan. Kedua, ada kemampuan untuk berkorban dengan jiwa sekalipun agar orang lain menemukan jalan kebenaran. Ketiga, teladan bagaimana memutus siklus kekerasan. Habil sebagai simbol kebaikan dan kesalehan, menolak mengotori tangannya dengan darah. Sementara Qabil mewakili kekerasan, kebuasan serta ringan tangan untuk membunuh atas dalih apa saja. (Jawdat Said, Mazhab Ibn Adam al-Awal, 1993: 23).

Tauladan Rasul: Cinta Kasih dan Perdamaian

Di samping bersumber dari nilai-nilai Qur’ani, diskursus mengenai perdamaian juga banyak ditemukan dalam Sunnah Nabawiyah. Ada sekitar dua puluh ribu Hadis Nabi dan diantaranya Hadis yang mendukung etika anti-kekerasan atau etika perdamaian. Hadis-Hadis ini mempunyai signifikansi ganda untuk mengkaji tradisi perdamaian dalam Islam. Pertama, menawarkan fakta-fakta tambahan tentang anti-kekerasan dalam budaya Islam; Kedua, mencakup penjelasan yang lebih menarik tentang berbagai tradisi Islam sebagaimana disampaikan melalui al-Qur’an. (Nagendra Kr. Singh, Etika Kekerasan dalam Tradisi Islam, 2003: 39).

Fakta lain yang merupakan arti kunci bagi terwujudnya tradisi damai dan nirkekerasan adalah mengikuti dan mensuri-tauladani apa yang Rasulullah saw lakukan. Al-Qur’an merekomendasikan Nabi Muhammad kepada kita sebagai suri-tauladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab: 21), dan memerintahkannya (Nabi) untuk berkata kepada umatnya: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Q.S. `Ali ‘Imran: 31. Sehingga konsekuensinya sebagaimana yang ditulis oleh Schimmel:

“Dalam perang dan damai, di rumah dan di dunia (luar), dalam bidang keagamaan seperti dalam setiap bentuk pekerjaan dan tindakan/amalan, Nabi Muhammad saw merupakan contoh teladan dari kesempurnaan moral (akhlak). Apa saja yang beliau lakukan menyisakan/memberikan contoh bagi para sahabatnya”. (Abdul Azis, ed., Peace and Conflict Resolution, 229).

Karena hal itu tidak dapat dipisahkan dari sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan Islam pada masanya. Nabi SAW melakukan dakwah dengan cara-cara yang damai serta penuh dengan cinta-kasih. Jadi fakta historis ini mempunyai signifikansi ganda untuk mengkaji etika perdamaian dalam tradisi Islam awal.

Berangkat dari keyakinan ini, perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Islam yang artinya mengandung makna salam (kedamaian/keselamatan) mengajak untuk selalu bersikap harmonis dalam berinteraksi dengan sesama. Perdamaian bukanlah semata-mata ketiadaan perang atau kekerasan. Damai yang sejati adalah damai yang termanifestasi melalui nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai keadilan sosial. 

Maulana Wahiduddin Khan menyatakan bahwa perdamaian secara umum adalah antitesis dari ketiadaan perang. Namun, definisi ini hanya dalam lingkup yang kecil. Perdamaian sejati adalah perdamaian yang berhubungan dengan segala urusan kehidupan manusia. Perdamaian merupakan ideologi yang komplek. Ideologi yang menjadi pintu utama menuju kesuksesan dalam hidup. (Ideologi of Peace, 20). [ ]

Ahmad Nurcholish, Pengajar Religious Studies Universitas Prasetiya Mulya, Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini