Beranda Hikayat 7 Mei, Kilas Balik Perjanjian Roem-Royen: Jalan Terjal Menuju Meja Bundar

7 Mei, Kilas Balik Perjanjian Roem-Royen: Jalan Terjal Menuju Meja Bundar

Jakarta, 7 Mei 1949. Di balik dinding tebal Hotel Des Indes yang angkuh, dua tokoh duduk saling berhadapan. Mohamad Roem dari pihak Indonesia, dan Dr. J.H. van Roijen dari Belanda. Keduanya bukan musuh dalam arti senjata, tapi lawan dalam urusan nasib sebuah negara yang baru merdeka, yang tengah berjuang keras mempertahankan kedaulatannya di tengah permainan diplomasi internasional.

Hari itu, setelah negosiasi panjang sejak 14 April, mereka akhirnya menandatangani apa yang kelak dikenal sebagai Perjanjian Roem-Royen—satu titik terang dalam lorong gelap pasca Agresi Militer Belanda II yang menghancurkan banyak harapan rakyat Indonesia.

Bangsa Indonesia, kala itu, adalah republik muda yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, proklamasi belum cukup untuk membawa kedamaian.

Di bawah nama Sekutu, pasukan Belanda menyusup ke Nusantara lewat NICA (Netherlands Indies Civil Administration), berniat mengembalikan status quo kolonial yang telah hancur oleh Jepang.

Apa yang terjadi kemudian adalah babak panjang konflik bersenjata dan diplomasi yang nyaris tak pernah berhasil. Perjanjian Linggarjati (1946) dan Renville (1947) hanya menjadi tinta basah yang cepat menguap. Belanda tak segan melanggar perjanjian sendiri dan melancarkan dua kali agresi militer.

Yang kedua, pada 19 Desember 1948, bahkan membuat Yogyakarta—ibu kota sementara Republik—jatuh. Presiden Sukarno bersama Hatta, dan sejumlah menteri ditawan dan diasingkan. Indonesia tampak di ambang kehancuran.

Namun sejarah tak berpihak pada kekerasan. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Sjafruddin Prawiranegara bangkit di Bukittinggi. Dan pada 1 Maret 1949, dentuman senjata kembali menggelegar di Yogyakarta. Serangan Umum 1 Maret berlangsung hanya enam jam, tapi cukup untuk membuktikan kepada dunia bahwa Republik belum mati.

Tekanan internasional pun menguat. Negara-negara Asia menutup bandara mereka untuk pesawat Belanda. Amerika Serikat yang sebelumnya netral, berubah haluan. Bersama Komisi Tiga Negara (AS, Australia, Belgia), mereka mendorong perundingan serius di bawah naungan United Nations Commission for Indonesia (UNCI).

Januari 1949, Konferensi Inter-Asia di New Delhi menghasilkan resolusi keras: hentikan agresi, bebaskan pemimpin Republik, dan kembalikan mereka ke Yogyakarta. Dunia menuntut solusi.

 

Meja Bundar Dimulai di Des Indes

Dari tekanan global dan perjuangan bersenjata itulah lahir perundingan Roem-Royen. Delegasi Indonesia dipimpin Mohamad Roem dengan dukungan tokoh-tokoh penting: Supomo, Ali Sastroamidjojo, Leimena, A.K. Pringgodigdo, dan Johannes Latuharhary.

Delegasi Belanda dipimpin Van Roijen, diplomat yang tampak tenang namun tegas. UNCI hadir sebagai penengah, dengan Merle Cochran dari AS memimpin.

Perundingan berlangsung alot. Roem dan Royen memperdebatkan hal-hal krusial, dari pengembalian Yogyakarta hingga janji kedaulatan.

Tapi akhirnya, dicapai sebuah gentlemen’s agreement yang dikenal sebagai van Roijen–Roem Statement.

Isi kesepakatannya sederhana tapi fundamental:

• Pemerintahan Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta.

• Para pemimpin yang ditawan dibebaskan.

• Belanda dan Indonesia sepakat menggelar Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

• Republik menuntut penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta—dan disepakati.

Tanggal 2 Juni 1949, pasukan Belanda resmi mulai mengosongkan Yogyakarta, diawasi langsung oleh UNCI. Tak lama, Soekarno dan Hatta kembali. Indonesia kembali memiliki denyut pemerintahan sah di tanah airnya.

Perjanjian Roem-Royen bukanlah akhir. Tapi darinyalah jalan menuju Konferensi Meja Bundar terbuka. Dan dari Meja Bundar, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.

Kini, nama Roem dan Royen abadi dalam lembar sejarah. Tak hanya sebagai diplomat, tapi sebagai saksi bahwa kemerdekaan tak hanya ditebus dengan darah, tapi juga dengan kata-kata yang tajam dan kepala dingin di meja perundingan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini