Beranda Opini Pendidikan Agama Inklusif  dan Pluralis

Pendidikan Agama Inklusif  dan Pluralis

Suasana sekolah SDN 21 Tolomundu Kota Bima. Sumber: https://sdn21.bimakota.sch.id/
Suasana sekolah SDN 21 Tolomundu Kota Bima. Sumber: https://sdn21.bimakota.sch.id/

Oleh Ahmad Nurcholish

Dalam tiga dasawarsa terakhir sekolah atau lembaga pendidikan berbasis agama kian tumbuh subur. Seolah tak mau ketinggalan, sekolah-sekolah umum (negeri) bahkan turut berpacu mencitrakan diri sebagai lembaga pendidikan yang religious. Tepatnya lebih islami. Bahkan, belakangan ini, sekolah negeri, termasuk perguruan tinggi,  jauh terlihat agamis ketimbang sekolah berbasis agama seperti madrasah dan pesantren.

Kondisi tersebut mendorong minat masyarakat untuk memasukkan putra-putrinya ke lembaga pendidikan tersebut dengan harapan selain mendapatkan ilmu pengetahuan umum, juga  mendapatkan pendidikan agama yang memadai. 

Pertanyaan pun muncul di benak kita. “Mengapa semakin baik tingkat pendidikan masyarakat, termasuk pendidikan agama,  semakin banyak pula “konflik” antar-umat beragama?” Bukankah pendidikan, termasuk pendidikan agama berperan menumbuhkan nilai positif manusia tentang kecerdasan, daya kreatif, dan keluhuran budi, sehingga dalam diri manusia tidak berkembang sifat negatif; jiwa beku, sikap otoriter,  sikap intoleran, sikap mau benar sendiri, perilaku kekerasan, tak peduli pada sesama, dan gampang sekali menilai orang lain salah bahkan sesat?

Konflik dan kekerasan yang masih sering terjadi belakangan ini, adalah dianggap akibat belum tumbuhnya pribadi pintar, kreatif, dan berbudi luhur. Orang yang cerdas selalu bisa menggunakan nalarnya secara benar dan obyektif. Orang kreatif mempunyai banyak pilihan dalam memenuhi kepentingan hidupnya. Orang arif dan luhur budi bisa menentukan  pilihan tepat dan menolak cara-cara kekerasan. Dengan kata lain, maraknya berbagai konflik dan kekerasan tersebut menjadi tanda bahwa dunia pendidikan kita telah gagal menjalankan peran mendasarnya. (Afkar, 2001: 1).

Sayangnya, dan ini patut kita sesalkan, kepedulian masyarakat kita mengenai problem pendidikan ini masih sangat minim. Ini bisa jadi karena ketika para elit agama, elit pemimpin masyarakat, elit politik, dan elit penguasa kerap menganalisa bahwa akar permasalahan dan sumber konflik dan kekerasan tersebut disebabkan karena adanya kesenjangan sosial di antara masyarakat. Jarang sekali yang mencurigai agama sebagai faktor yang cukup signifikan dalam memicu kerusuhan sosial yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Ada keseganan tersendiri untuk menyebut agama sebagai salah satu faktor penyebab konflik dan kerusuhan di tanah air. Mereka selalu mengelak bahwa agama tidak mungkin mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan dan bermusuhan dengan orang lain. Pendidikan agama selalu dilihat sebagai sesuatu yang baik, bahkan sempurna dalam mengantarkan peserta didik memiliki perilaku yang baik dan mulia. 

Dari situlah kemudian masyarakat merasa tidak perlu lagi mempertanyakan ulang bagaimana sesungguhnya praktik pengajaran dan pendidikan agama, baik yang menyangkut materi, maupun metodologi di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi, di pesantren-pesantren, di seminari-seminari, di media massa-media massa, khususnya televisi, dan di masyarakat pada umumnya.

Dengan demikian, upaya-upaya untuk memperlunak kekakuan dan mencairkan kebekuan pemikiran keagamaan dan ketegangan hubungan sosial-keagamaan dari masing-masing kelompok penganut agama belum dianggap terlalu penting untuk diarak melalui dunia pendidikan. 

Perlunya Perubahan Paradigma

Mungkin kita perlu membaca kembali peringatan Bertrand Russel dalam Education and Social Order, (1993). Ia mengingatkan agar pendidikan tidak dipolitisasi untuk kepentingan sesaat. Russell mengatakan, “Sejauh pendidikan dipengaruhi oleh agama, maka pendidikan dipengaruhi oleh agama institusional yang memiliki arti politik yang benar”. 

Oleh karena arti politik yang begitu besar dalam pendidikan agama, tak heran jika doktrin yang berkembang adalah doktrin eksklusif, superior dan mengklaim sebagai yang paling benar. Pada gilirannya, menurut Khamami Zada, tidak terjadi hubungan harmonis dan terbuka dalam menyikapi agama-agama lain. Padahal, Arnold Toynbee (1989-1975), sejarawan Inggris, secara terang menandaskan bahwa “Tidak seorang pun dapat menyatakan dengan pasti bahwa sebuah agama lebih benar dari agama lain”. (KZ, 2001: 2-3).

Oleh karena itu, dewasa ini, terutama dalam konteks masyarakat majemuk, hubungan antarmasnusia dan antaragama sudah mesti mengalami perubahan paradigma (paradigm shift). Jika pada masa lampau hubungan antaragama ditandai oleh antagonisme polemik dan upaya menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita, maka pada masa sekarang hubungan tersebut harus lebih menekankan dialog dan saling pengertian. Pada masa lampau kita berupaya untuk mengisolasi diri dan menganggap agama lain sesat dan musuh, takut dan curiga kepada usaha agama lain untuk memengaruhi penganut agama kita, maka kini semangat keterbukaan, saling menghormati dan menghargai harus lebih dikedepankan.

Apa yang pernah disampaikan Leonard Swidler, pakar dalam teologi Katolik dan hubungan antaragama, patut kita renungkan. Dia, seperti dinukil Khamami,  mengatakan, “Bagi mereka yang masih menggunakan paradigma eksklusif, yang lebih cenderung untuk mengisolasi diri dan enggan berdampingan dengan umat lain, tidak akan mendapat tempat dalam arena kehidupan keagamaan masa kini. Dalam bukunya, Death or Dialogue, Swidler secara tegas mengingatkan, “Kita tidak dapat mengabaikan pihak lain dengan menutup mata, pikiran dan hati terhadap mereka, menatap mereka dengan rasa curiga, prasangka, dan bahkan terkadang dengan kebencian;  pola hubungan semacam ini hanya akan mengantar kita kepada permusuhan yang berakhir dengan konfrontasi dan kematian”.

Dalam konteks inilah, pendidikan agama sebagai media penyadaran umat harus beranjak dari model pendidikan agama eksklusif menuju pendidikan agama yang  inklusif dan pluralis. Dengan metode itu diharapkan akan tumbuh di tengah masyarakat pemahaman agama yang inklusif demi harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat. Memang perlu kemauan dan keseriusan dari berbagai pihak, khususnya pemangku lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun non-formal. Tanpa itu rasanya mustahil dapat diwujudkan.

Paling tidak kita harus memulainya dari sekarang. Filosofi pendidikan agama yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain harus kita kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Dalam pendidikan Islam misalnya, konsep iman-kafir, muslim-non muslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, meski dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak akan diterima oleh Tuhan.

Selanjutnya, meminjam filsafat pendidikan yang telah diformulasikan Paulo Freire, sudah saatnya pendidikan agama diarahkan pada arena pembebasan dari belenggu doktrin-doktrin agama yang eksklusif dan intoleran menuju formulasi pendidikan agama yang inklusif dan pluralis. Sebab sejak semula, pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication), yang diarahkan pada paradigma yang serba-eksklusif. [ ]

Ahmad Nurcholish, pengajar Religious Studies Universitas Prasetiya Mulya, Tangerang,  pengajar Teologi Agama-agama STT GERMITA, Kep. Talaud, dan Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini