
Oleh Ahmad Nurcholish
Bukan tanpa sebab jika Fadli Zon (FZ) menginisiasi penulisan ulang sejarah yang katanya bertujuan agar buku-buku sejarah memiliki nada yang lebih positif. Tentu saja, “positif” menurut dirinya dan mungkin juga kroni-kroninya yang kini tengah berkuasa.
Pengingkarannya terhadap kasus pemerkosaan massal Mei 1998 menegaskan adanya upaya untuk mengaburkan, bahkan menghapus fakta sejarah yang selama ini telah menjadi pengetahuan umum, khususnya bagi para korban tragedi yang tak pernah bisa melupakan peristiwa tersebut.
Sejarah mencatat bahwa dua pekan setelah tragedi berlalu, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Pembentukan tim ini didasarkan pada keputusan bersama lima menteri/pemimpin lembaga, yakni Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dan Jaksa Agung. Tim ini melibatkan berbagai unsur, termasuk perwakilan pemerintah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, lembaga swadaya masyarakat, serta organisasi kemasyarakatan.
Dalam laporan akhirnya, TGPF mencatat terdapat 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 korban penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. Namun, jumlah sebenarnya bisa jadi lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak terverifikasi. Tim relawan menemukan para korban dalam berbagai kondisi: ada yang terduduk diam dengan pandangan kosong karena stres, ada yang pingsan bersimbah darah, bahkan ada yang meninggal karena dianiaya setelah diperkosa.
Kekerasan ini terjadi tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di Medan, Surabaya, dan beberapa kota lainnya. Tim juga mencatat adanya pola serangan yang sistematis dan menyasar perempuan etnis Tionghoa—menandakan bahwa kekerasan tersebut bukan bersifat spontan, melainkan mengindikasikan adanya pengorganisasian.
Bahkan, Presiden Habibie kala itu mengakui adanya kekerasan seksual massal dan mendirikan Komnas Perempuan melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998. Saat itu, Saparinah Sadli bersama Ita Nadia—aktivis perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan—menghadap Presiden B.J. Habibie, penasihat militer presiden Sintong Panjaitan, serta Panglima TNI yang saat itu dijabat oleh Wiranto.
Namun, di balik pengakuan resmi tersebut, tekanan dan intimidasi dialami para relawan serta pendamping korban. Banyak di antara pejabat negara kala itu tidak percaya atau bahkan berpura-pura tidak tahu terhadap peristiwa memilukan ini. Dan kini, hal tersebut diulang oleh pejabat negara bernama Fadli Zon.
FZ tentu bukan tanpa alasan. Ia mungkin menginginkan agar sejumlah orang yang kini memegang tampuk kekuasaan—dan diduga terlibat dalam tragedi tersebut—dapat “dibersihkan” namanya, agar tidak lagi tercantum dalam sejarah kelam Indonesia.
Pernyataan Fadli Zon yang sebelumnya sempat viral itu dinilai tidak berdiri sendiri. Sejumlah organisasi masyarakat sipil menduga pernyataan tersebut sejalan dengan proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang sedang digodok pemerintah.
Tanpa kita sadari, inilah cara menghancurkan sebuah bangsa. Persis seperti yang ditulis oleh Jüri Lina dalam bukunya Architects of Deception. Jurnalis dan penulis asal Republik Estonia ini mengatakan bahwa ada tiga cara untuk melemahkan, menjajah, atau bahkan menghancurkan suatu bangsa:
- Kaburkan sejarahnya.
- Hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa tersebut sehingga tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya.
- Putuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka, dengan mengatakan bahwa para leluhur itu bodoh dan primitif.
Pengkhianatan Kaum Intelektual
Saya yakin FZ tidak sendirian dalam proyek ini. Ada “pesan sponsor” dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk memoles citra negatif mereka agar tampak bersinar di mata publik.
Rasanya kita tak bisa tinggal diam menyaksikan upaya pemutarbalikan sejarah ini. Kecuali, kita bersedia dikategorikan oleh filsuf Prancis Julien Benda dalam bukunya La Trahison des Clercs sebagai bagian dari “Pengkhianatan Kaum Intelektual”!
Buku kecil Benda, menurut Tasrif, dimaksudkan sebagai peringatan bagi kaum intelektual Prancis bahwa tugas mereka bukanlah mengabdi pada kepentingan politik, tetapi mempertahankan nilai-nilai abadi yang abstrak dan berlaku lintas zaman dan situasi, yakni: kebenaran, keadilan, dan rasio. “La Justice, La Vérité et La Raison,” tulis Tasrif dalam majalah Budaya Jaya No. 4, September 1968.
Benda melihat bagaimana sebagian besar intelektual Prancis berkolaborasi dengan Nazi: bersikap anti hak asasi manusia, anti-kemanusiaan, dan anti-moralitas. Yang lebih penting, mereka telah berkhianat terhadap tanah airnya.
Benda menilai kaum intelektual Prancis telah mengingkari tanggung jawab moral mereka. Mereka lebih senang mementingkan nilai-nilai praktis daripada nilai-nilai keilmuan (humilier les valeurs de connaissance devant les valeurs d’action). Mereka abai dan berdiam diri ketika fakta sejarah diputarbalikkan, bahkan ketika hendak dilenyapkan. [ ]
Ahmad Nurcholish, Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania, saksi sejarah Tragedi Mei 1998