Beranda Kalapikir Menghilangkan Kebodohan

Menghilangkan Kebodohan

Penulis: Muhammad Mukhlisin

Obrolan ini bermula di sebuah perjalanan sore.
Kenzie, anak saya yang baru lima tahun, duduk di kursi belakang dengan ransel kecil dan sisa-sisa remah biskuit di pipinya. Ia baru saja pulang dari PAUD, dan tampaknya cukup puas dengan hari itu—walau saya curiga, yang membuatnya semangat bukan pelajaran, tapi kesempatan bermain di luar.

Dalam perjalanan pulang, saya bertanya sekenanya,
“Kenapa sih kita harus sekolah?”

Saya kira ia akan menjawab, “Biar pintar.”
Atau, “Biar jadi dokter.”
Atau mungkin, “Karena disuruh Ayah dan Bunda.”

Tapi tidak. Ia menjawab tanpa ragu,
“Untuk menghilangkan kebodohan.”

Saya sempat menoleh lewat kaca spion, memastikan ia tidak sedang mengutip buku filsafat. Tapi wajahnya serius, seolah memang tahu apa yang ia maksud.

Jawaban itu membuat saya terdiam.
Karena di usianya yang masih bocah, Kenzie justru mengajukan definisi pendidikan yang sangat dalam—dan sangat jujur.

Lama saya merenungkan kalimat itu.
Kalau benar sekolah untuk menghilangkan kebodohan, maka tujuan pendidikan bukan semata-mata mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti dalam konstitusi bangsa Indonesia.

Dan memang, banyak orang yang sudah pintar—bergelar panjang, fasih berbicara, menguasai banyak istilah—tapi tetap memelihara kebodohan dalam bentuk-bentuk baru.

Orang pintar bisa menyusun strategi politik, tapi tak tahu bagaimana mendengarkan rakyat.
Orang pintar bisa menghitung anggaran pembangunan, tapi lupa mencatat kebutuhan anak-anak di pelosok yang butuh buku tulis dan ruang belajar yang layak.
Orang pintar bisa bicara etika di ruang kuliah, tapi tidak bisa antre di jalan raya.

Apa itu sebenarnya kebodohan?

Bagi saya, bodoh bukan soal tak tahu. Itu namanya belum belajar.
Bodoh adalah ketika seseorang tahu, tapi memilih berpaling.
Bodoh adalah ketika seseorang diberi pengetahuan, tapi menolaknya sebagai pandangan hidup.
Bodoh itu bukan soal isi kepala, tapi soal sikap hati.

Dan celakanya, sistem pendidikan kita—dengan segala semangat dan cita-cita besarnya—kadang justru ikut merawat kebodohan.
Ada yang bilang, pendidikan kita membuat anak pintar menghafal, tapi takut bertanya fakta dan kebenaran.
Terlatih memilih jawaban yang sudah disediakan, tapi tidak diberi ruang untuk menciptakan jawaban sendiri.

Salah satu teman saya, bilang begini:
“Pendidikan hari ini lebih banyak melatih ketertundukan daripada membangkitkan keberanian berpikir.”

Dan jika ini benar, maka tak heran bila sekolah menjadi tempat yang sibuk mengejar ranking, tapi sepi dari keberanian untuk bertanya: kenapa kita harus belajar ini?
Kita mencetak generasi yang tahu banyak hal, tapi tidak tahu harus apa dengan pengetahuannya.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal:
Ngapain susah-susah sekolah?

Mungkin jawabannya ada di ucapan Kenzie—untuk menghilangkan kebodohan.
Bukan hanya kebodohan tentang angka dan huruf, tapi juga kebodohan dalam menyikapi hidup.
Kebodohan dalam memperlakukan orang lain.
Kebodohan dalam memahami diri sendiri.

Dan mungkin, sekolah yang baik adalah yang mampu mengajarkan anak-anak untuk tidak hanya mengisi kepala mereka, tapi juga membuka hati mereka.

Kadang, pelajaran terbesar justru datang dari anak kita sendiri.
Dan barangkali, itu juga yang namanya belajar: mendengarkan dunia lewat suara yang kecil, yang belum terkontaminasi ambisi, tapi penuh kejujuran.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses