Beranda Opini Ironi Program Makanan Bergizi Gratis: Niat Luhur Namun Amburadul

Ironi Program Makanan Bergizi Gratis: Niat Luhur Namun Amburadul

Oleh: Insan Faisal Ibrahim, S.Pd

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan cita-cita mulia: memastikan setiap pelajar, khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah, mendapatkan asupan gizi yang layak tanpa terbebani biaya. Gagasan ini tidak hanya relevan dengan kebutuhan mendesak bangsa untuk menciptakan generasi yang sehat dan cerdas, tetapi juga menjadi harapan baru bagi banyak keluarga.

Namun, seiring berjalannya waktu, cita-cita luhur tersebut mulai terganjal oleh kenyataan pahit di lapangan. Berbagai masalah serius mulai terungkap, mulai dari dugaan penyalahgunaan anggaran hingga kasus keracunan massal yang tragis. Program yang di atas kertas tampak begitu menjanjikan kini justru menjadi sumber keresahan dan kritik dari berbagai kalangan.

Tidak dapat dimungkiri, MBG lahir dari janji politik yang digaungkan selama masa kampanye. Narasi bahwa tidak akan ada lagi anak kelaparan di sekolah dan setiap siswa akan mendapat makanan sehat gratis setiap hari menjadi daya tarik yang kuat bagi para pemilih. Akan tetapi, setelah euforia pemilu mereda, muncul pertanyaan mendasar: seberapa serius program ini dipersiapkan?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak aspek pelaksanaan MBG terkesan terburu-buru. Sejumlah pihak menilai program ini dijalankan hanya untuk memenuhi janji kampanye, tanpa perencanaan matang yang mencakup kesiapan infrastruktur, pengawasan, dan transparansi.

Salah satu persoalan paling menonjol adalah adanya indikasi penyimpangan anggaran oleh oknum-oknum tertentu. Dalam praktiknya, ditemukan beragam modus, seperti pengurangan kualitas dan kuantitas bahan makanan, manipulasi data penerima manfaat, hingga pemotongan dana operasional dan logistik. Laporan dari beberapa daerah menunjukkan ironi yang menyakitkan: menu yang seharusnya memenuhi standar gizi justru jauh dari kata layak. Ada siswa yang hanya menerima nasi dengan kerupuk atau lauk yang minim nutrisi. Alih-alih meningkatkan kesehatan, makanan semacam ini justru berisiko memperburuk kondisi gizi anak.

Lebih jauh lagi, praktik korupsi juga mengakar dalam proses pengadaan. Di banyak kasus, sekolah diarahkan untuk bekerja sama dengan penyedia makanan tertentu dengan iming-iming keuntungan pribadi, yang pada akhirnya membuka celah korupsi berjamaah. Akibatnya, dana yang seharusnya digunakan sepenuhnya untuk makanan siswa dipotong demi kepentingan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Masalah paling mengkhawatirkan adalah terjadinya keracunan makanan massal di beberapa sekolah. Insiden ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari kegagalan sistemis dalam pengawasan mutu, mulai dari proses pengolahan, distribusi, hingga pengecekan keamanan pangan. Ketika anak-anak harus dilarikan ke rumah sakit setelah mengonsumsi makanan dari program ini, bukan hanya kredibilitas MBG yang dipertaruhkan, tetapi juga nyawa generasi bangsa.

Aspek lain yang tak kalah penting adalah lemahnya sistem evaluasi dan akuntabilitas. Laporan resmi pemerintah sering kali cenderung bersifat seremonial dan hanya menonjolkan sisi positif, tanpa menyediakan ruang untuk kritik dan perbaikan dari pihak eksternal. Tanpa evaluasi dari lembaga independen dan partisipasi masyarakat sipil, sulit untuk mengukur keberhasilan program secara objektif. Padahal, audit berkala, keterbukaan data, dan pelibatan publik adalah kunci agar program sosial seperti ini berjalan tepat sasaran.

Meskipun diwarnai berbagai polemik, gagasan inti di balik MBG sejatinya tetap relevan dan krusial. Di tengah tantangan gizi buruk dan stunting, program ini seharusnya menjadi tulang punggung intervensi pemerintah untuk kesejahteraan anak. Namun, niat baik tidak akan berdampak positif jika tidak diiringi integritas, perencanaan matang, dan pengawasan yang ketat.

Untuk itu, pemerintah perlu melakukan reformasi total dalam tata kelola MBG. Langkah ini harus mencakup proses lelang penyedia makanan yang transparan, pengawasan mutu pangan yang disiplin, hingga pelibatan lembaga seperti BPK, KPK, dan Ombudsman dalam audit serta penegakan hukum. Salah satu solusi potensial adalah mengubah pendekatan dari yang bersifat terpusat (top-down) menjadi berbasis kolaborasi. Sekolah, komite orang tua, UMKM lokal, dinas kesehatan, dan masyarakat harus dilibatkan secara aktif. Dengan demikian, program bisa lebih tepat sasaran sekaligus memberdayakan ekonomi daerah.

Program MBG adalah cerminan bagaimana sebuah niat baik bisa rusak jika tidak dikawal dengan komitmen untuk melaksanakannya secara benar. Jika dibiarkan seperti sekarang, MBG tidak hanya akan gagal mencapai tujuannya, tetapi juga berpotensi melahirkan generasi yang skeptis terhadap program pemerintah.

Kini, saatnya pemerintah menjawab tantangan ini bukan dengan retorika, melainkan dengan tindakan nyata: evaluasi menyeluruh, keterbukaan terhadap kritik, dan perbaikan sistemik di semua lini. MBG masih bisa menjadi warisan berharga bagi bangsa, asalkan dijalankan dengan integritas, transparansi, dan keberpihakan tulus pada anak-anak Indonesia, bukan sekadar menjadi alat politik sesaat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses