Beranda Opini Hari Kesaktian Pancasila dan Suara Sunyi Guru Madrasah

Hari Kesaktian Pancasila dan Suara Sunyi Guru Madrasah

Hari Kesaktian Pancasila 2025
Hari Kesaktian Pancasila 2025


Oleh: Insan Faisal Ibrahim, S.Pd

Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila, sebuah momen penting yang mengingatkan kita akan kokohnya Pancasila sebagai dasar negara. Hari ini menjadi simbol keteguhan Pancasila dalam menghadapi berbagai ancaman ideologi yang berusaha merongrong keutuhan bangsa. Namun, peringatan ini tidak seharusnya hanya menjadi ajang seremonial atau pengulangan narasi sejarah. Sebaliknya, ia harus menjadi momen refleksi, untuk mempertanyakan apakah nilai-nilai luhur Pancasila telah benar-benar hidup dalam kebijakan dan perilaku negara serta masyarakat kita.

Salah satu nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, jika kita melihat lebih jauh, terutama dalam sektor pendidikan, kita akan menemukan sekelompok pengabdi yang bekerja dalam diam, memikul tanggung jawab besar, namun seringkali tidak mendapat pengakuan yang adil: para guru madrasah. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga penjaga moral bangsa. Meski begitu, suara mereka hampir tidak terdengar. Ketika mereka berbicara, kata-kata mereka menggugah hati dan kesadaran kita: “Kami guru madrasah, bukan robot ibadah. Kami bukan mesin pengumpul pahala yang bisa terus bekerja tanpa dihargai. Terlalu sering kami diiming-imingi surga, tetapi hak kami di dunia sering diabaikan. Kami ikhlas, tetapi keikhlasan bukan alasan untuk menutup mata dari ketidakadilan.”

Pernyataan tersebut bukan hanya keluhan emosional, melainkan kegelisahan yang timbul dari realitas sosial yang tidak adil. Dalam masyarakat kita, guru madrasah sering dianggap cukup dengan semangat keikhlasan dan pahala. Namun, di balik itu, mereka tetaplah manusia yang memiliki kebutuhan dasar, tanggung jawab keluarga, dan hak-hak yang seharusnya dipenuhi oleh negara.

Guru madrasah, terutama di daerah terpencil, menghadapi berbagai tantangan berat. Gaji yang minim, status kepegawaian yang tidak jelas, sarana pendidikan yang terbatas, hingga kurangnya akses pelatihan dan pengembangan kompetensi. Mereka mengajar bukan hanya di ruang kelas, tetapi juga menjadi teladan akhlak, pendamping rohani, bahkan seringkali menjadi penggerak sosial di komunitas mereka. Namun, seberapa sering negara atau masyarakat benar-benar melihat dan menghargai peran mereka?

Banyak guru madrasah yang belum mendapat pengakuan administratif yang layak. Mereka bekerja di lembaga pendidikan berbasis agama yang sering kali tidak mendapatkan dukungan anggaran sebagaimana sekolah negeri. Sementara itu, narasi yang terus digaungkan adalah “ikhlas” dan “pahala”, seolah-olah nilai spiritual bisa menggantikan ketidakadilan struktural yang mereka alami. Padahal, keikhlasan tidak seharusnya dijadikan dalih untuk membenarkan perlakuan yang tidak adil.

Hari Kesaktian Pancasila mengingatkan kita bahwa ideologi negara ini pernah diuji oleh kekuatan-kekuatan yang ingin menggantikannya. Namun, setelah lebih dari setengah abad, kita juga harus bertanya, apakah Pancasila benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata berbangsa dan bernegara? Ataukah ia hanya sakti di atas kertas, namun mati dalam praktik kebijakan?

Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sejalan dengan semangat para guru madrasah yang mengajarkan nilai-nilai keagamaan. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, seharusnya mendorong penghormatan terhadap guru sebagai sesama manusia yang memiliki hak-hak dasar. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, tidak akan kokoh tanpa peran guru madrasah yang menyatukan keberagaman masyarakat melalui pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai moderasi beragama. Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”, menuntut adanya kebijakan yang bijaksana terhadap nasib para pendidik ini. Dan sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, harusnya menjawab ketimpangan yang hingga kini masih mereka rasakan. Jika guru madrasah masih harus berjuang sendiri tanpa dukungan nyata dari negara, maka kita perlu bertanya, “Kesaktian Pancasila itu untuk siapa?”

Para guru madrasah tidak menuntut lebih dari yang seharusnya. Mereka tidak menginginkan kekayaan, popularitas, atau pujian. Mereka hanya menginginkan pengakuan dan perlakuan yang adil. Mereka ingin dipandang bukan hanya sebagai simbol pengabdian yang patut disyukuri, tetapi juga sebagai pilar penting dalam pembangunan karakter bangsa. Kita tidak bisa membiarkan mereka terus memikul beban moral dan spiritual, sementara hak-hak dasarnya sebagai tenaga pendidik diabaikan. Memuliakan guru tidak cukup hanya dengan kata-kata manis di baliho peringatan Hari Pendidikan atau pidato-pidato seremonial. Ini harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan nyata.

Hari Kesaktian Pancasila seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki arah. Jadikanlah peringatan ini bukan sekadar pengingat sejarah, tetapi penggerak perubahan. Menghargai guru madrasah secara adil dan manusiawi adalah bukti nyata bahwa Pancasila hidup. Mereka yang telah menjaga nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan moral generasi bangsa, seharusnya menjadi penerima pertama dari keadilan sosial itu sendiri.

Keikhlasan memang mulia, tetapi bukan alasan untuk membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Jika bangsa ini ingin Pancasila tetap sakti, maka kesaktian itu harus dirasakan oleh seluruh rakyat, termasuk mereka yang selama ini mengabdi tanpa banyak suara. Mari kita jadikan Hari Kesaktian Pancasila tahun ini bukan hanya peringatan sejarah, tetapi titik balik menuju keadilan yang lebih nyata. Dan itu bisa dimulai dengan mendengarkan suara para guru madrasah yang selama ini terlalu sering diabaikan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses