
| JAKARTA — Pendidikan toleransi yang ditanamkan sejak dini di lingkungan sekolah dinilai menjadi fondasi kunci untuk mencegah terjadinya berbagai tindakan kekerasan yang belakangan marak terjadi. Penegasan ini mengemuka dalam diskusi dan bedah buku “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” karya Yudi Latif, yang digelar Yayasan Cahaya Guru (YCG) di Jakarta, Sabtu (15/11/2025).
Direktur Yayasan Cahaya Guru, Muhammad Mukhlisin, dalam sambutannya menekankan bahwa momentum Hari Toleransi Internasional dan peringatan 19 tahun YCG harus menjadi pengingat akan tugas besar dunia pendidikan. ![]() “Jika murid diajarkan menghargai keragaman temannya, maka akan tumbuh empati dan mereka akan terhindar dari kekerasan, seperti berbagai kasus yang belakangan muncul,” ujar Mukhlisin di hadapan 60 peserta luring dan 63 peserta daring. Acara yang diselenggarakan dengan dukungan PT Insight Investment Management dan Aliansi Kebangsaan ini, menurut Mukhlisin, sejalan dengan komitmen YCG selama 19 tahun untuk mendampingi guru menjadi rujukan dalam mengajarkan keragaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Bangga dan Paham Sejarah Dalam sesi “Teman Belajar”, sejumlah guru dan pegiat pendidikan membagikan refleksi mereka setelah membaca buku karya Yudi Latif tersebut. Seorang penerima beasiswa LPDP, Opin, mengungkapkan bahwa pengalamannya menempuh studi di Amerika Serikat justru memperkuat rasa cintanya pada Indonesia. “Justru ketika jauh, saya melihat betapa kayanya bangsa kita,” katanya. Pendapat senada disampaikan Astri Oktina yang mengaku buku tersebut memperkaya pemahamannya tentang akar sejarah kebangsaan. Sementara Muhammad Dhofir menyebut buku itu membangkitkan kembali kebanggaan dan semangatnya sebagai seorang pendidik. Fasilitator YCG, Komar, menambahkan bahwa buku setebal 524 halaman itu tidak hanya penting bagi guru, tetapi juga bagi para pengambil kebijakan. “Buku ini layak menjadi acuan dalam berbagai kebijakan pendidikan,” ujarnya. ![]() Relevansi untuk Semua Guru Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu, menekankan bahwa pesan dalam buku “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” relevan bagi seluruh guru, terlepas dari mata pelajaran apa yang diampunya. “Buku ini sangat berarti bagi guru apa pun mata pelajarannya. Ia mengajarkan kita untuk merawat bumi, memayu hayuning bawana,” ungkap Henny, mengutip falsafah Jawa tentang pentingnya menjaga keharmonisan dunia. Penulis buku, Yudi Latif, dalam penutup acara menyampaikan apresiasi atas antusiasme peserta, khususnya dari kalangan guru. “Ini adalah bedah buku pertama yang dihadiri begitu banyak guru, dan saya sangat menghargainya,” ujarnya. Kegiatan ini menegaskan bahwa penguatan pendidikan toleransi, sejarah, dan kebangsaan di sekolah merupakan langkah strategis untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan bagi setiap anak. |





















