Australia mengambil langkah yang bagi sebagian orang dianggap berani, bagi yang lain terlampau otoriter: melarang anak-anak mengakses media sosial. Negara itu menilai bahwa media sosial bukan sekadar ruang hiburan, melainkan ruang berisiko tinggi bagi kesehatan mental, perkembangan emosi, dan keselamatan anak. Pertanyaannya sederhana sekaligus menyakitkan: mengapa negara harus turun tangan, sementara orang tua dan masyarakat tampak kewalahan?
Australia melihat fakta yang tak bisa ditampik. Lonjakan kecemasan, depresi, perundungan digital, hingga eksploitasi seksual anak berkelindan erat dengan algoritma media sosial yang rakus atensi. Platform digital tidak dirancang untuk tumbuh kembang anak, melainkan untuk memaksimalkan waktu layar dan keuntungan iklan. Dalam logika itu, anak-anak bukan subjek yang dilindungi, tetapi komoditas yang dikonsumsi.
Australia bukan satu-satunya. Prancis membatasi akses media sosial bagi anak di bawah usia tertentu tanpa izin orang tua. Inggris memperketat regulasi online safety dan menekan platform agar bertanggung jawab atas konten. Norwegia dan Swedia mendorong pembatasan ketat penggunaan gawai di sekolah. Bahkan Tiongkok, dengan segala kontroversinya, membatasi waktu akses platform digital untuk anak-anak secara tegas. Dunia sedang bergerak ke satu kesimpulan: anak dan media sosial adalah kombinasi yang berbahaya jika dibiarkan tanpa pagar.
Bagaimana Regulasi Media Sosial Di Indonesia?
Di sini, anak-anak justru tumbuh di ruang digital yang nyaris tanpa regulasi efektif. Usia bukan penghalang, verifikasi hanyalah formalitas, dan pengawasan orang tua sering kalah oleh tuntutan ekonomi dan keterbatasan literasi digital. Kita marah ketika anak kecanduan gawai, tetapi diam ketika platform bebas menyasar mereka. Kita mengutuk perundungan daring, tetapi membiarkan algoritma terus memproduksi konten toksik.
Ironisnya, Indonesia kerap menyalahkan keluarga dan sekolah, sementara negara belum cukup hadir sebagai pelindung. Padahal ini bukan semata urusan moral atau disiplin, melainkan kesehatan publik dan masa depan generasi. Jika negara bisa mengatur usia minum alkohol dan mengemudi, mengapa gagap ketika harus mengatur usia berselancar di media sosial?
Namun pelarangan semata bukan jawaban ajaib. Kunci keberhasilan terletak pada tiga hal. Pertama, regulasi tegas dan berpihak pada anak, bukan pada kepentingan platform. Kedua, literasi digital massif bagi orang tua, guru, dan anak—bukan sekadar slogan, tetapi kurikulum hidup. Ketiga, alternatif ruang aman bagi anak untuk berekspresi, berinteraksi, dan belajar tanpa harus tunduk pada logika algoritma.
Pertanyaan akhirnya bukan apakah anak boleh bermain media sosial, melainkan apakah kita siap menanggung akibat jika mereka dibiarkan sendirian di sana. Ketika negara lain memilih bertindak, Indonesia tak bisa terus berpura-pura bahwa ini sekadar urusan keluarga. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya kebebasan, melainkan masa depan anak-anak kita sendiri.




















