Kalawaca.com – Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengecam peluncuran buku Sejarah Nasional Indonesia edisi terbaru yang diluncurkan pada Minggu, 14 Desember 2025. Buku tersebut merupakan hasil proyek penulisan ulang sejarah yang diinisiasi pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan sejak awal 2025. Meski diklaim disusun dengan “nada positif”, pendekatan ini pada kenyataannya menonjolkan keberhasilan rezim-rezim terdahulu sembari menghilangkan fakta-fakta mengenai represi, penindasan, dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai dampak dari kebijakan negara. Kami menilai penulisan ulang sejarah ini sebagai bagian dari upaya negara untuk membersihkan serta menghapus tanggung jawab rezim Orde Baru—khususnya mantan Presiden Soeharto atas berbagai penyalahgunaan kekuasaan selama masa pemerintahannya—dari ingatan kolektif masyarakat. Hal ini tampak dari absennya suara korban kekerasan negara pada masa Orde Baru serta ditiadakannya fakta historis mengenai keterlibatan Soeharto dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Alih-alih menyajikan penilaian yang berimbang, buku Sejarah Nasional Indonesia versi terbaru justru memuliakan kebijakan dan tindakan negara, terutama pada periode Orde Baru, tanpa disertai evaluasi kritis maupun koreksi yang sepadan. Padahal, sejarah semestinya berfungsi sebagai sarana pembelajaran bersama agar kekeliruan dan kejahatan di masa lalu tidak kembali terulang di masa yang akan datang. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM termasuk pelanggaran HAM berat, penyalahgunaan wewenang, serta praktik KKN yang sistematis. Di bawah Orde Baru, negara menjelma menjadi mesin kekerasan melalui pembasmian massal, perampasan sumber daya alam, perusakan lingkungan, pengendalian dan penyeragaman masyarakat, pengelolaan konflik horizontal, kekerasan terhadap perempuan, pembatasan kebebasan pers dan partai politik, serta penindasan terhadap serikat buruh yang kerap disertai kekerasan. Panjangnya pemerintahan Orde Baru meninggalkan warisan trauma dan kerusakan sosial-politik yang dampaknya masih dirasakan hingga kini.
Belum pulihnya trauma kolektif tersebut tidak terlepas dari absennya pengungkapan kebenaran atas represi dan penyalahgunaan kekuasaan negara selama Orde Baru. Padahal, penulisan ulang sejarah seharusnya menjadi kesempatan bagi negara untuk membongkar narasi hegemonik dan menghadirkan sejarah yang berpihak pada keadilan serta berperspektif korban. Namun, sejak dibatalkannya UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi, Negara tidak pernah membentuk kembali mekanisme pengungkapan kebenaran yang adil dan kredibel. Akibatnya, masyarakat kehilangan rujukan resmi atas fakta sejarah Orde Baru. Dalam draf buku yang sempat beredar dan dipresentasikan dalam uji publik, sejumlah kasus pelanggaran berat HAM yang telah diselidiki Komnas HAM justru direduksi atau dihilangkan sama sekali. Pengaburan ini merupakan bentuk nyata epistemisida—penghancuran pengetahuan—atas kejahatan kemanusiaan yang seharusnya dipertanggungjawabkan oleh negara. Terlebih, buku sejarah dengan tafsir tunggal versi pemerintah ini akan dijadikan bahan ajar di sekolah-sekolah.
Manipulasi memori kolektif bangsa tidak hanya dilakukan melalui buku sejarah, tetapi juga lewat pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Di tengah minimnya pengakuan, kebenaran, dan keadilan atas pelanggaran berat HAM sepanjang Orde Baru, pemberian gelar tersebut merupakan bentuk rehabilitasi simbolik terhadap aktor utama yang diduga bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang tak pernah diproses secara hukum. Langkah ini, ditambah dengan pengaburan sejarah melalui penulisan ulang, merupakan pengkhianatan terhadap korban dan keluarga korban yang selama puluhan tahun menuntut negara untuk mengungkap kebenaran dan menghadirkan keadilan. Fakta sejarah dipoles demi kepentingan politik penguasa, sementara temuan-temuan Komnas HAM dan suara korban terus diabaikan.
Pada saat yang sama, Negara hingga kini masih mengandalkan pendekatan keamanan dalam menghadapi demonstrasi dan menjalankan kebijakan ekonomi. Penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan, hingga pembunuhan di luar hukum masih terus terjadi. Penggusuran dan perampasan ruang hidup terus berlangsung di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun komunitas adat. Atas nama pembangunan ekonomi, Negara juga membiarkan perusakan lingkungan hingga bencana ekologis yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan menguntungkan segelintir elite oligarki. Struktur kehidupan bernegara yang patriarkis pun tetap dipertahankan, sementara Negara gagal menjamin perlindungan dan keamanan perempuan.
Peresmian buku Sejarah Nasional yang baru menambah daftar panjang tindakan imoral negara dalam memutihkan dosa Orde Baru dan menormalisasi bentuk penyalahgunaan kekuasaan negara. Sebelumnya, pernyataan penyangkalan atas pelanggaran berat HAM dalam Peristiwa Mei 1998 pernah dilontarkan oleh Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dan penyangkalan atas perkosaan massal dalam Peristiwa Mei 1998 oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Negara juga memberikan berbagai bentuk penghargaan kepada sejumlah nama-nama yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran berat HAM, seperti Eurico Guterres, Prabowo Subianto, Sjafrie Sjamsoeddin, Zacky Anwar Makarim, Abilio Jose Soares, Wiranto, dan Hendropriyono. Terakhir, yang baru saja terjadi adalah pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan presiden Soeharto—yang rezimnya mewariskan beragam praktik kekerasan negara sepanjang 1965–1998—serta Sarwo Edhie Wibowo, individu yang secara rantai komando bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM Peristiwa 1965-1966.
Oleh karena itu, kami yang berdiri bersama dan berpihak pada korban, keluarga korban, dan penyintas pelanggaran HAM dan kekerasan negara menyatakan sikap bahwa peresmian buku Sejarah Nasional Indonesia tanpa suara korban hanyalah narasi tunggal penguasa yang dijadikan alat kekuasaan. Buku Sejarah Nasional Indonesia tidak ubahnya sebuah upaya untuk meminggirkan kebenaran dan merusak keadilan. Kami akan terus berpihak pada kebenaran dan keadilan. Kami menolak lupa dan akan terus merawat ingatan.
Jakarta, 15 Desember 2025
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas
Organisasi:
- Aksi Kamisan Netherlands
- Aliansi Terlibat Bersama Korban Goethermal Flores (Alter BKGF)
- Alumni Sekolah Antikorupsi (SAKTI) ICW
- Amerika Bergerak
- Asia Justice and Rights (AJAR)
- Badan Eksekutif Mahasiswa STH Indonesia Jentera
- Komunitas Beranda Rakyat Garuda (BRG)
- Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
- Centre for Restoration and Regeneration Studies (CRRS)
- Centra Initiative
- Climate Rangers Jogja
- Climate Rangers NTB
- Constitutional and Administrative Law Society (CALS)
- Corong Api
- Deconstructing Indonesia
- Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN)
- Federasi Serkat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI)
- Flower Aceh
- Forum Cikditiro
- Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia (Fordek FH PTM)
- Gerak Solidaritas Belanda (GSB)
- Gerakan Sosial Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
- Ikatan Kemanusiaan untuk Korban Penghilangan Paksa Indonesia (IKOHI)
- IM57+ Institute
- IMPARSIAL
- Indonesia Corruption Watch (ICW)
- Insan Pengadaan Antikorupsi
- Jaringan Advokasi Nasional untuk Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT)
- Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Kawal Kebijakan Adil Gender
- Jurnalis Perempuan Khatulistiwa
- Kader Hijau Muhammadiyah
- Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)
- Kiprah Perempuan
- Koalisi Mahasiswa dan Rakyat Tasikmalaya
- Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
- Komunitas Historika Bekasi (KHB)
- Komunitas Utan Kayu
- Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
- KontraS Aceh
- LBHAP PP Muhammadiyah
- LBH Pers Padang
- Lembaga Hikmah dan kebijakan Publik (LHKP)
- Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2)
- Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD) Universitas Padjadjaran
- Lembaga Sejarah Sosialis Indonesia
- Lingkar Keadilan Ruang
- Lingkar Studi Feminis
- Logos ID
- Kelompok Kerja Anti Disinformasi di Indonesia (KONDISI)
- Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah
- Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
- Melbourne Bergerak
- Omong-Omong Media
- Perempuan Mahardhika
- PIKAT Demokrasi
- Public Virtue Research Institute (PVRI)
- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
- Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
- Perhimpunan International People’s Tribunal 1965 Indonesia
- Perkumpulan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant CARE)
- Perpustakaan Online genosida 1965-1966
- Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS) Perempuan Indonesia
- Rumah Baca Komunitas
- Sajogyo Institute
- Salam4Jari
- Savy Amira WCC Surabaya
- Sekolah HAM Perempuan Flower Aceh
- Sentra Advokasi untuk Hak Dasar Rakyat (SAHdaR)
- Serikat Pekerja Kampus (SPK)
- Social Justice Indonesia (SJI)
- Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
- Suara Ibu Indonesia
- Komunitas Taman 65
- Taring Padi, YK
- Tokyo Bergerak
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Nasional
- WALHI Bali
- WALHI Kalimantan Selatan
- Watch 65
- Yayasan Cahaya Guru (YCG)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)
- Yayasan Sejarah Rakyat Indonesia
- Yayasan Tananua Flores (YTNF)
Individu
- A.B.Widyanta (Social Research Center UGM)
- A.S. Rimbawana
- Abdurrauf Said
- Abi Mu’ammar Dzikri
- Aboeprijadi Santoso, Jurnalis, Watch65
- Agung Alit
- Alberta Christina
- Ammar Naufal
- Andreas Iswinarto
- Arami Kasih
- Ari Palawi, Universitas Syiah Kuala
- Arif R. Haryono (Dompet Dhuafa)
- Arfiana
- Artien Utrecht, penulis, Watch65
- Arman Raafi Seiff, Policy+
- Aryo Jakti Artakusuma
- August Saveero
- Ayu Diasti Rahmawati, Dosen FISIPOL UGM
- Bimo Bagas Basworo
- Bivitri Susanti, Dosen Hukum STHI Jentera
- Cahyo Pamungkas (BRIN)
- Caroline Paskarina, Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Padjadjaran
- Dadang Trisasongko
- Damar Juniarto
- Daniel Frits Maurits Tangkilisan
- David Efendi
- Denny Riezki Pratama (mahasiswa, Kyushu University)
- Dewi Widyastuti
- Diah Kusumaningrum (HI UGM)
- Dian Purnomo (penulis)
- Donny Danardono, Universitas Katolik Soegijapranata
- Esti Utami, ruangkota.com
- Evie Permata Sari
- Fahmi Abdul Halim
- Fandi Putra
- Feliks Erasmus Arga
- Dr Felix Baghi SVD (institut filsafat dan teknologi kreatif Ledalero)
- Felly Ponto – Koalisi Masy Sipil Surabaya
- Geradi Yudhistira, FISB UII
- Gregorius Afioma (University of Toronto)
- Halim HD.
- Helga Kusuma, PUSKAPA UI
- Henny Dinan
- Herdiansyah Hamzah (Universitas Mulawarman)
- Hidayat Chaniago, S.H., M.H. (Advokat & Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara)
- Hironimus Pala
- I Ngurah Suryawan, Universitas Warmadewa
- Ignasius Jaques Juru (University of Bonn, Department Southeast Asian Studies)
- Ika Ardina
- Iman Zanatul Haeri, Guru Sejarah MA Tsaqafah
- Ita Fatia Nadia
- Jaleswari Pramodhawardani, peneliti LIPI 1989-2022
- Jesslyn Mulyanto, University of Melbourne
- Johan Hasan
- Jumisih
- Krisnowati, eksil (Watch65)
- Listia, Penulis Yogyakarta
- Luqman Nul Hakim (UGM)
- Manneke Budiman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
- Maria Hartiningsih, penulis
- Maria M. D. F. Diena, Anggota SINDIKASI/BEM STH Indonesia Jentera
- Marsis Triyadi
- Masduki (Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Universitas Islam Indonesia)
- Melani Budianta, Pegiat Budaya
- Melisa Try Hatmanti, UI
- Mohammad Nanda Widyarta, Dosen FTUI
- M. Ammar Hidayahtulloh (GSB)
- M.Baihaqi Al Chasan, Guru Sejarah SMA Kawung 1 Surabaya & SMA Barunawati Surabaya
- M. Busyro Muqoddas
- Muhammad Raafi
- Dr Muhammad Ridwan, M.HI. (Akademisi Univ. Muhammadiyah Makassar)
- Nadya Selma Karamy, Policy Analyst
- Nathanael Pribady
- Nathania B. Zhong
- Nining Elitos
- Oky Setiarso (Ahli Gizi)
- Okky Madasari
- Paul Rahmat, (VIVAT International, New York, USA)
- Pipit Ambarmirah
- PM Laksono (pensiunan dosen antropologi UGM)
- Poppy R. Dihardjo
- Putro Wasista Hadi
- Rassela Malinda, University of Melbourne
- Ratna Saptari (Alumni Antropologi FS UI, Sekjen Watch65)
- Reza Muharam
- Rika Theo (University of Amsterdam)
- Rima Irmayani
- Robertus Mirsel, Dosen Sosiologi Gerakan Sosial dan rohaniwan IFTK Ledalero
- Sarah Pardede – Legal Analyst, Researcher (UvA)
- Sastyo Aji Darmawan
- Saut Situmorang
- Selly Riawanti, Asosiasi Antropologi Indonesia
- Sri Rahayu
- Sri Wiyanti Eddyono, UGM
- Subandri Simbolon (Radboud University)
- Suciwati, istri Munir Said Thalib
- Sulistyowati Irianto, Fakultas Hukum, Univ Indonesia
- Sungkono, eksil (Watch65)
- Suraya Afiff (dosen Universitas Indonesia)
- Susi Dwi Harijanti, Dosen FH UNPAD
- Syahar Banu (Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat Tanjung Priok 1984/Perempuan Pembela HAM)
- Dr Tamara Soukotta (International Institute of Social Studies, Erasmus University Rotterdam)
- Dr Taufiq Hanafi, Peneliti
- Tommy Indyan
- Usman Hamid, Amnesty International Indonesia
- Venansius Haryanto (University of Bonn)
- Wahyu Susilo (Alumni Ilmu Sejarah UNS, Direktur Eksekutif Migrant CARE
- Wening Udasmoro, UGM
- Zainal Arifin Mochtar, Dosen FH UGM



















