Sejak semalam hingga siang tadi, saya berusaha membaca buku yang saya dapat setelah berkunjung ke Mahkamah Konstitusi kemarin. Menjelang waktu terbang ke Lombok, saya menuliskannya agar terang dalam pikiran. Buku berjudul Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik Tahun 1945 ini merekam perdebatan dan kesepakatan tentang kata “agama” dalam Pasal 28J UUD 1945. Saya ingin memahami bagaimana konsep HAM dipahami dan dibakukan dalam konstitusi dan apakah hal tersebut sejalan dengan norma internasional.
Pasal 28J –berikut penafsiran, pemahaman dan argumen di baliknya—memperlihatkan pandangan pokok di kalangan elite negara dan masyarakat dalam mengambil tindakan dalam berbagai masalah keagamaan. Dari kasus kelompok yang diduga sesat, menghina agama, penyiaran agama, pembubaran organisasi, dan seterusnya.
Karena bukan hak untuk bebas-sebebasnya, HAM dapat dibatasi dan itu diatur dalam UUD 1945. Negara ini bukan negara sekuler, bukan agama, tapi negara Pancasila yang menghormati agama. Pernyataan itu seperti menjadi mantra untuk membantah argumen HAM. Saya menghubungkan pandangan ini dengan apa yang saya pahami sebagai “aturan pengecualian domestik” (domestic rules of exception) dalam proses difusi norma internasional.
Konsep itu merujuk pada sebuah keyakinan kuat dan menentukan negara dapat menukar perangkat norma tertentu dengan norma lain atau kapan norma internasional dapat dilanggar. Aturan ini bisa ditemukan dalam konstitusi formal dan sistem kepercayaan informal. “Ia biasa mewakili ‘mitos’ yang kuat dan dikondisikan secara historis yang menentukan kepentingan negara di area tertentu dan menjaga koalisi sosial tetap utuh,” kata Sonia Cardenas, sarjana dari Trinity College Irlandia, dalam Conflict and Compliance State Responses to International Human Rights Pressure.
Uniknya, dalam berbagai kajian HAM, pandangan “HAM bukan hak sebebas-bebasnya” tak banyak ditemukan. Kebebasan seseorang selalu dibatasi kebebasan yang lain. Begitulah pandangan umum. Namun, pandangan “HAM bukan hak sebebas-bebasnya” itu dapat dipahami. Karena perkembangan kebudayaan, praktik kehidupan, dan pengetahuan masyarakat, sesuatu yang sebelumnya dianggap tak dijamin, dilarang, oleh pendekatan HAM menjadi bagian yang dilindungi seperti larangan negara yang mengintervensi keyakinan seseorang.
Di antara elite politik yang saya dengar melontarkan istilah ini selain Suryadarma Ali adalah Patrialis Akbar. Patrialis mengatakannya pada sidang PNPS 2009 tentang penodaan agama. Buku ini memperlihatkan, rupanya itu pandangan yang konsisten dipegang mantan Menteri Hukum dan HAM ini sejak menjadi anggota legislatif dan terlibat dalam perumusan Pasal 28J.
Saat sidang-sidang amandemen UUD 1945 disusun, Patrialis Akbar anggota MPR dari Fraksi Reformasi, fraksi gabungan dari PAN dan Partai Keadilan. Demi mendukung usulan AM. Luthfi, rekan sefraksinya, ia bicara begini. “Karena kita bicara tentang masalah hak asasi, tentu kita tidak ingin ada nilai-nilai moral agama nanti dengan alasan kebebasan beragama,” jelasnya. “Apakah kita ingin melihat orang-orang telanjang karena itu adalah hak asasi?,” tanyanya diplomatis.
Semula, kata “agama” tak muncul dalam pasal 28J. Hanya ada “hak kebebasan orang lain”, “pertimbangan moral, “keamanan”, dan “ketertiban umum”. Draf pasal mengikuti redaksi Pasal 29 ayat 2 Deklarasi Universal HAM 10 Desember 1948. Seperti direkam buku ini, Deklarasi itu menjadi rujukan dalam perumusan pasal-pasal HAM dalam konstitusi. Namun, kata “agama” termasuk juga “keamanan” tidak ada di pasal tersebut.
Dari buku ini saya mengerti rupanya usulan agama dalam Pasal 28J didorong pertama kali oleh Fraksi Reformasi lewat omongan AM. Luthfi. Ia politisi PAN dan pernah menjabat Ketua Fraksi Reformasi MPR RI periode tahun 1999-2004. Redaksi yang diusulkannya semula “nilai agama”, namun sepakati kemudian “nilai-nilai agama”.
Taufiqurrohman Ruki dari Fraksi TNI/POLRI orang yang pertama menyuarakan penolakan usulan itu. alasannya, tak sesuai dengan kesepakatan malam sebelumnya. “Kami yang pertama menyatakan tak setuju penambahan kata ini, tapi tolong jangan diartikan tidak setuju penerimaan agama.” Katanya. Tapi belakangan tokoh yang puluhan tahun berikutnya menjadi ketua KPK itu menyetujuinya.
Perkara keberatan tampaknya bukan soal substansi. Hanya perkara prosedur kesepakatan. Fraksi Kebangkitan Bangsa setuju. “Kalau disetujui hanya disebut moral saja, moral itu bermacam-macam. Moral orang Barat dengan kita berbeda-beda. Agama kan jelas,” Kata Moh Dawam Anwar. Fraksi PPP ikut mendukung dengan alasan menyempurnakan pasal. Persetujuan diikuti fraksi lainnya. Lalu Pasal 28J lahir seperti sekarang ini.
Bandara Soetta, 17 Desember 2024
Alamsyah M Djafar