Kalawaca.com – Nama Joko Widodo tiba-tiba muncul dalam daftar yang tak diinginkan oleh seorang mantan kepala negara. Laporan tahunan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) menempatkan mantan Presiden Indonesia itu sebagai salah satu finalis “Person of the Year in Organized Crime and Corruption” tahun 2024..
Sejajar dengan tokoh-tokoh seperti Bashar al-Assad dari Suriah dan Bola Tinubu dari Nigeria, Jokowi dituding terlibat dalam berbagai praktik korupsi yang bersifat sistematis, melibatkan nepotisme, manipulasi institusi hukum, dan lemahnya transparansi dalam proyek-proyek nasional berskala besar.
“Kami meminta nominasi dari para pembaca, jurnalis, juri Person of the Year, dan pihak lain dalam jaringan global OCCRP,” demikian keterangan OCCRP di website resminya (30/12/2024).
OCCRP, sebuah organisasi yang berbasis di Amsterdam, Belanda, dikenal karena investigasinya terhadap kejahatan terorganisir dan korupsi di seluruh dunia. Setiap tahun, mereka mengundang publik, termasuk jurnalis, akademisi, dan penegak hukum, untuk menominasikan individu yang dianggap memiliki peran signifikan dalam praktik korupsi dan kejahatan terorganisir.
“Korupsi merupakan bagian mendasar dari upaya merebut kekuasaan negara dan menjadikan pemerintahan otokratis berkuasa. Pemerintah yang korup ini melanggar hak asasi manusia, memanipulasi pemilu, menjarah sumber daya alam, dan pada akhirnya menciptakan konflik,” kata Penerbit OCCRP Drew Sullivan dalam laporan tersebut.
Setelah periode nominasi berakhir, panel juri yang terdiri dari pakar internasional di bidang korupsi dan kejahatan terorganisir menilai setiap kandidat berdasarkan berbagai kriteria, termasuk dampak global, luasnya jaringan kejahatan, metode operandi, dan konsekuensi bagi masyarakat. Proses seleksi ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu yang paling berperan dalam mempromosikan atau memfasilitasi praktik korupsi dan kejahatan terorganisir selama tahun tersebut.
Pada tahun 2024, OCCRP menobatkan Bashar al-Assad, mantan Presiden Suriah, sebagai “Person of the Year in Organized Crime and Corruption” untuk tahun 2024. Al-Assad dipilih karena perannya dalam memimpin produksi dan distribusi Captagon, sebuah narkotika adiktif, yang menghasilkan miliaran dolar untuk mendukung rezim otoriternya.
Selain itu, OCCRP memberikan “Lifetime Non-Achievement Award” kepada Teodoro Obiang Nguema Mbasogo, diktator lama dari Guinea Khatulistiwa, atas dekade mismanajemen dan pengeluaran mewahnya. Beberapa finalis lainnya untuk penghargaan tahun ini selain Joko Widodo adalah Presiden Kenya William Ruto dan Presiden Nigeria Bola Tinubu, yang dinominasikan karena dugaan keterlibatan dalam korupsi.
Jokowi dan Nawadosa
Pada Juli 2024, Mahkamah Pengadilan Rakyat—forum simbolis yang digagas oleh berbagai organisasi masyarakat sipil dan akademisi—mengeluarkan hasil sidang yang menggugat kepemimpinan Presiden Joko Widodo di periode keduanya. Forum ini menyoroti dugaan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan konflik kepentingan yang dinilai merugikan kepentingan publik. Sidang ini melahirkan sembilan poin utama yang disebut sebagai “Nawadosa” Jokowi selama masa pemerintahannya.
Pertama adalah kebijakan yang dinilai merampas ruang hidup dan menyingkirkan masyarakat dari lahan-lahan yang mereka tempati. Proyek Strategis Nasional, Undang-Undang Cipta Kerja, hilirisasi nikel, dan program food estate menjadi contoh nyata di mana pembangunan infrastruktur dan investasi besar dinilai lebih mengutamakan keuntungan segelintir elit ketimbang kesejahteraan masyarakat terdampak. Penyingkiran paksa dan minimnya mekanisme kompensasi yang adil memperdalam luka bagi banyak kelompok masyarakat, terutama petani dan masyarakat adat.
Kedua, isu kekerasan, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi juga mendapat perhatian serius dalam forum tersebut. Demonstrasi sipil yang sering berakhir dengan kekerasan oleh aparat dan kriminalisasi aktivis semakin menegaskan wajah kelam demokrasi di era Jokowi. Ruang bagi kebebasan berekspresi semakin menyempit, dengan aparat kerap menggunakan dalih stabilitas keamanan untuk meredam suara-suara kritis. Menurut Fadhil, salah satu penggugat, tindakan represif seperti ini hanya akan semakin merusak legitimasi pemerintah di mata rakyat.
Politik impunitas dan ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia menjadi dosa ketiga Jokowi. Kasus pelanggaran HAM berat seperti Tragedi Semanggi dan kekerasan di Papua hingga kini tidak menunjukkan kemajuan berarti. Janji-janji penyelesaian yang diucapkan Jokowi di awal pemerintahannya justru berhenti pada retorika tanpa tindakan nyata. Kegagalan ini memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam menegakkan keadilan.
Keempat, dalam bidang pendidikan, komersialisasi dan penyeragaman sistem pendidikan nasional dinilai semakin menjauh dari semangat inklusivitas. Polemik tingginya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan pemberlakuan status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) menjadi cerminan dari bagaimana pendidikan semakin menjadi barang mewah yang sulit dijangkau oleh masyarakat miskin. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara, kini diperlakukan seperti komoditas yang hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu.
Kelima, dalam konteks pemberantasan korupsi, revisi Undang-Undang KPK pada periode kedua Jokowi dianggap sebagai pukulan telak terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga yang dulu menjadi harapan besar dalam memberantas korupsi kini dianggap kehilangan taringnya. Selain itu, tuduhan tentang normalisasi praktik nepotisme selama Pilpres 2024 semakin memperkuat kesan bahwa kekuasaan di era Jokowi cenderung berputar di lingkaran keluarga dan loyalisnya. Fadhil dengan tegas menyatakan bahwa ini adalah pengkhianatan terhadap janji reformasi yang pernah digaungkan Jokowi di awal pemerintahannya.
Eksploitasi sumber daya alam dan solusi palsu untuk krisis iklim menjadi dosa keenam dalam Nawadosa Jokowi. Perizinan tambang yang tidak diiringi dengan pengawasan ketat serta kegagalan mendistribusikan keuntungan sumber daya alam kepada masyarakat luas dianggap sebagai kegagalan besar pemerintah. Aktivis lingkungan menilai bahwa kebijakan ini lebih berpihak pada korporasi besar ketimbang pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan rakyat kecil.
Isu ketenagakerjaan muncul dalam daftar ketujuh. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja dianggap sebagai alat untuk semakin menekan hak-hak buruh. Fleksibilitas tenaga kerja yang berlebihan, penghapusan upah minimum sektoral, serta lemahnya perlindungan bagi buruh membuat posisi pekerja semakin rentan. Para buruh merasa semakin tidak berdaya di tengah arus liberalisasi ekonomi yang didorong oleh kebijakan tersebut.
Kedelapan, praktik pembajakan legislasi semakin memperjelas pola pengambilan keputusan yang tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Banyak kebijakan yang lahir dari proses yang dianggap tidak transparan, di mana kepentingan segelintir elit politik dan bisnis tampak lebih dominan daripada kepentingan publik.
Kesembilan, rezim Jokowi juga dituding mencoba mengembalikan militer ke ruang-ruang sipil melalui revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Perubahan aturan yang memungkinkan prajurit TNI dan anggota Polri menduduki jabatan sipil menjadi indikasi kemunduran yang signifikan dalam semangat reformasi 1998. Langkah ini dinilai bertentangan dengan upaya untuk memisahkan peran militer dari urusan sipil.
Kesembilan poin Nawadosa ini bukan sekadar kritik simbolis, melainkan cerminan dari rasa frustrasi publik terhadap arah kepemimpinan Jokowi di periode keduanya. Mahkamah Pengadilan Rakyat menyimpulkan bahwa Jokowi telah gagal menjaga semangat reformasi yang dulu menjadi pijakan kuat dalam kampanye awalnya.
Kilas Balik Jokowi
Pada periode pertama kepemimpinannya, Jokowi menuai pujian luas atas upayanya membangun infrastruktur skala besar, meningkatkan akses kesehatan melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), serta memastikan stabilitas ekonomi.
“Periode pertama Jokowi adalah masa ketika dia menepati sebagian besar janji kampanyenya. Pembangunan infrastruktur yang masif dan perluasan jaminan sosial adalah bukti konkret keberhasilannya,” ujar Yanuar Nugroho, mantan Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP), dikutip dari Reuters (14/10/2024).
Namun, pada periode kedua, tanda-tanda konsolidasi kekuasaan mulai terlihat. Para analis menilai Jokowi mulai membangun fondasi politik dinasti, terutama setelah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, mendapatkan jalan pintas menjadi calon wakil presiden melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju sebagai calon wakil presiden pada 2024 menjadi titik balik yang mencolok. Pengadilan, yang saat itu dipimpin oleh saudara ipar Jokowi, memicu protes luas di berbagai daerah.
“Seolah-olah dia menghapus semua kebaikan yang telah dilakukannya selama satu dekade terakhir,” kata Yanuar.
Sementara itu, kritik dari dunia akademis juga semakin lantang. Sana Jaffrey, peneliti dari Australian National University (ANU), menggambarkan situasi ini sebagai gejala “otoritarianisme kompetitif”.
“Dalam sistem seperti itu, semua struktur demokrasi masih ada – pemilu, parlemen, pengadilan – tetapi fungsinya telah sangat terkikis,” ujar Jaffrey seperti dikutip oleh The Australian (13/8/2024).
Bantuan Jokowi dalam memastikan kemenangan Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 memunculkan kekhawatiran tentang kesinambungan praktik politik yang saat ini terjadi. Prabowo, mantan jenderal dengan catatan kontroversial terkait dugaan pelanggaran HAM, kini berada di posisi untuk melanjutkan warisan Jokowi.
“Kemungkinan besar kita akan melihat kembali struktur politik seperti era Orde Baru. Prabowo telah menyiratkan bahwa ia akan menoleransi sangat sedikit perbedaan pendapat,” ujar Kevin O’Rourke, analis politik terkemuka, dalam wawancara dengan Reuters (14/10/2024).
Sementara itu, Jokowi tetap mempertahankan popularitasnya yang tinggi. Menurut jajak pendapat terbaru dari Indikator Politik Indonesia, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi tetap di angka 75%, meskipun berbagai kontroversi menyelimuti akhir masa jabatannya.
Warisan Jokowi kini menjadi dualitas yang kontras: di satu sisi, ia berhasil membawa Indonesia melalui era pertumbuhan ekonomi yang stabil, pembangunan infrastruktur masif, dan perluasan akses kesehatan. Di sisi lain, periode pemerintahannya diwarnai oleh melemahnya institusi demokrasi, konsolidasi kekuasaan, serta munculnya praktik politik dinasti.
“Jokowi membawa Indonesia ke jurang kehancuran demokrasi, tetapi belum sepenuhnya jatuh ke dalamnya,” terang Sana Jaffrey.
Selain itu, beberapa kebijakan selama masa kepemimpinan Jokowi dianggap memberikan ruang bagi praktik korupsi dan kejahatan terorganisir untuk berkembang. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa masuknya seseorang dalam daftar finalis OCCRP tidak serta merta membuktikan keterlibatan langsung dalam praktik korupsi, melainkan merupakan hasil dari penilaian berdasarkan informasi yang tersedia dan investigasi yang dilakukan oleh OCCRP.